Pers mahasiswa (Persma) memang tidak mati-mati meski orde pemerintah silih berganti. Arus pemikiran media (ideologi) bergeser dan media baru bermunculan. Persma tetap menunjukkan eksistensi diri.
Tapi, Persma sekarang ibarat berada di dalam pusaran badai besar, yang terlempar dari arus opini publik yang politis, yang kalah telak bersaing dengan media konvensional dan sekarang yang terdepak oleh media baru khususnya media jejaring sosial (social network media). Lalu apa arti eksistensi Persma sekarang, pada Hari Pers Nasional besok?
Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah bahwa sebagai (organisasi) media, Persma sendiri dipertanyakan dan digugat. Ini tentu saja lebih dari sekadar mencari orientasi, bentuk, atau gaya media. Tapi bagaimana memaknai Persma sebagai media di tengah begitu mengguritanya media-media baru terutama yang dihadirkan oleh web 2.0 seperti blog, MySpace, media portal online dan yang paling menonjol seperti Facebook dan khususnya Twitter. Bagaimana posisi dan memosisikan Persma dengan media-media tersebut?
Sekarang, tidak ada Persma sebagai media alternatif yang beroposisi dengan media mainstream atau konvensional baik cetak, elektronik, maupun online. Lupakan aktivisme Persma dengan jargon atau slogan sebagai media alternatif, independen, kritis atau yang bersifat membela rakyat kecil.
Sekarang, yang ada adalah penggiat Persma yang addicted dengan media baru, menjadikan media tersebut sebagai media mainstream baru. Mereka asyik-masyuk memperbaharui dan mendapatkan informasi, hiburan, bahkan pendidikan dari media-media baru khususnya media jejaring sosial.
Kutukan Mitos
Pascareformasi 1998, kita tahu, media (konvensional) mendapatkan kembali kebebasannya. Seiring dengan itu, Persma kehilangan orientasi politis (satu-satunya!) yang oposisif atau seperti dikatakan Daniel Dhakidae (Prisma No 10/Oktober 1977), sebagai adversary journalism (jurnalisme perlawanan).
Lalu, sebagai reorientasi, Persma mengambil jalan back to campus dengan menerbitkan jurnal ilmiah populer dan media lain dengan periodisasi yang lumayan cepat atau “berkala” (kadang terbit, kadang tidak), termasuk menerbitkan buku. Persma tetap eksis meski masih enggan melepaskan orientasi politisnya.
Saat kekuasaan politik berganti, Persma seperti kehilangan “sandaran”. Tapi, yang lebih parah, yang berada di hadapannya sekarang adalah media-media baru yang bisa berada di mana saja dan oleh siapa saja yang dihadirkan oleh kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi. Yang segera menohok dari media baru ini pada Persma adalah mempertanyakan bukan saja orientasi bermedia tapi sekaligus orientasi bentuk media Persma saat bersanding dan bertanding dengan media jejaring sosial (social network media) seperti Twitter.
Sederhananya: pergeseran kekuasaan media. Jadi, bukan saja pergeseran dan pergantian rezim tapi pergeseran dan pergantian bermedia. Bagaimana reaksi dan solusi penggiat Persma terhadap tantangan media baru ini?
Yang segera tampak dari diskursus Persma selama ini adalah absen dan lalainya penggiat Persma terhadap peringatan dari Marshal McLuhan: The Medium is the Message. Inilah yang menghadapi dan dihadapi semua Persma, mempertanyakan arti eksistensi Persma sebagai media itu sendiri, bukan hanya sebagai media berkuasa. Yang segera mengemuka dari masalah ini adalah apakah penggiat Persma akan menganggapnya sebagai kawan atau lawan.
Sekarang, hampir semua Persma punya website, blog atau paling tidak sebuah grup di Facebook. Tapi, tidak ada yang benar-benar bisa aktif, efektif, dan eksis menggunakan media baru ini sampai sekarang. Alasannya sederhana: Persma bisa dikatakan organisasi eksklusif di kalangan mahasiswa sendiri. Persma belum bisa dan belum mau ”berkonvergensi” dengan mahasiswa umum, publik pembacanya selama ini di tengah era konvergensi media massa, di luar anggota dan pengurus Persma.
Sekali lagi, kita melihat Persma yang lambat merespons perubahan bermedia. Media massa konvensional menerapkan—meminjam istilah Felix Soh, seorang Digital Media Editor Singapore Press Holding—New2 Journalism (baca: New New Journalism), yang menggabungkan berbagai teknologi media dan sekaligus menggabungkan khalayak dan para jurnalis dalam bermedia (Gong, edisi 119/XI/2010).
Kesimpulan sementara saya, kemunculan media-media baru itu bukan saja menjadi tantangan bagi Persma, tapi, jangan-jangan, menjadi pembunuh berdarah dingin bagi Persma. Persma menjadi beyond and out of alternative media karena toh belum ada gagasan dan cara baru dalam bermedia, belum lagi ditopang oleh kebanyakan awak Persma yang kualitas kesadaran bermedianya mengenaskan yang hanya mendapatkan ilmu bermedia dari diklat jurnalistik dasar.
Masih perlukah Persma? Toh, ada dan tiada Persma sama saja, masyarakat umum dan civitas akademika tidak akan ada yang protes atau merasa rugi. Tapi, satu pekan saja Facebook atau Twitter ditutup, bisa dibayangkan kehebohan yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa?
M Fauzi Sukri
Mahasiswa Sastra Inggris UNS
http://edisicetak.solopos.co.id/berita.asp?kodehalaman=h04&id=101077
Edisi : Selasa, 08 Februari 2011, Hal.4