Site icon Saluran Sebelas

PERSETUJUAN SEKSUALITAS ATAU MENJADI KORBAN SEKSUALITAS?

Jumat (19/11), Kementerian Pemberdayaan Perempuan BEM UNS menggelar acara Diskusi Publik. Adapun tema yang diangkat terkait “Mengenali Lebih Dekat Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual”. Diskusi publik ini mendatangkan tiga pembicara, yaitu Dr. Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum UNS, Nurul Amalia S.H., M. selaku Advokat Perempuan dan Anak sekaligus Direktur Pusat Advokasi Hukum dan HAM, Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H., M.H., M.Si. selaku Guru Besar Pendidikan UPI.

Acara dibuka dengan sambutan dari Zakky Musthofa Zuhad selaku Presiden BEM UNS 2021. Ia menyampaikan bahwa di tengah persoalan kasus kekerasan, pelecehan, dan kejahatan seksual dibutuhkan payung hukum untuk menjadi antitesa dari setiap persoalan yang ada. Menurutnya kasus antara mahasiswa dan dosen sangatlah berbeda. Hotline pergaulan yang pernah dialami menghadirkan keberpihakan dan perlindungan bagi korban. Maka dari itu, BEM UNS menghadirkan diskusi publik dengan tujuan memberikan gambaran mengenai bagaimana arah Permendikbud. Apakah asumsi pelanggaran zina adalah benar atau sebaliknya.

Pada 3 September 2021 Permendikbud menghadirkan peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi dan regulasi tinggi hadir sebagai langkah konkret untuk mengatasi tingginya angka pelecehan seksual yang terjadi di perguruan tinggi saat ini. Pada survei Kemendikbud tahun 2020, sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, namun 63% tidak pernah melaporkannya karena khawatir akan stigma yang melekat baginya. Sementara itu, dari data Komnas Perempuan terdapat 27% aduan kekerasan seksual di tingkat perguruan tinggi.

Nurul Amalia sebagai pembicara pertama dalam acara ini mengatakan bahwa Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Jakarta mengajukan surat keberatan kepada Kemendikbud mengenai Permendikbud. Hal itu berkaitan dengan semangat norma pencegahan yang sesungguhnya menjadi biasa dan kontradiktif dengan tujuan pendidikan nasional. Pasalnya, disebutkan bahwa adanya butir/ayat yang menggunakan paradigma seksual konsen dalam perbuatan seksual yang terlarang menjadi tidak terlarang.

Pada problem paradigma seksual konsen, hubungan seksual dilakukan dengan persetujuan perempuan karena dalam hal ini perempuan menjadi objek seksual. Namun, jika tidak adanya persetujuan dari pihak perempuan maka akan berubah menjadi kekerasan seksual. Seksual konsen ini terfokus pada ada atau tidaknya persetujuan karena hal itu akan masuk ke dalam perkawinan sakral. Bahkan dalam suami istri dapat menjadi pelaku kekerasan seksual karena berbasis ada tidaknya konsen atau persetujuan. Paradigma ini pun sangat bertentangan pada Pancasila dan UUD NKRI Tahun 1945. Maka dari itu, perlu perbaikan dalam Permendikbud agar adanya penegakan hukum atau perlindungan bagi perempuan.

Selanjutnya Rustamaji menyoroti isu polemik frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbud No. 30 Tahun 2021. Dalam mengupas polemik tersebut, Rustamaji mengambil teori yang dikemukakan oleh Derrida yakni logika oposisi biner. Pemakaian satu terminologi memang berkecenderungan untuk ditantangkan dengan terminologi yang lain. Sebuah tindakan seksual dikatakan kekerasan seksual bila dilakukan “tanpa persetujuan korban”. Lalu, apa itu memiliki arti bila dilakukan dengan “persetujuan korban” dipandang tidak menjadi masalah dan karena itu dibenarkan?

Dalam analisis Rustamaji, logika berpikir oposisi biner jelas mensimplifikasi permasalahan dan karenanya harus didekonstruksi. Pemakaian frasa “tanpa persetujuan korban” pasti tidak harus dipahami jika aturan itu dapat didefinisikan melegalisasi perzinaan. Dalam usaha pencegahan dan penanganan korban tindak kekerasan seksual, frasa “tanpa persetujuan korban” dipakai untuk menunjukkan jika dalam relasi yang tidak seimbang atau asimetris, misalnya risiko mahasiswa menjadi korban tindak kekerasan seksual dosen atau pembimbingnya, murid dengan gurunya, junior dengan seniornya, dan sebagainya. “Hal ini dapat dipahami bahwa relasi itu sangat tinggi karena di situ hubungan yang terikat ialah relasi ketertundukan,” tutur Rustamaji.

Relasi yang berkembang antara mahasiswa dan dosen kerap kali terikat tidak imbang yang memungkinkan dosen melakukan tindak pelecehan seksual dengan berbagai penyamaran pembenarnya. Pemakaian frasa “tanpa persetujuan korban”, oleh karenanya, malah harus dipastikan secara jelas, khususnya saat korban dihadapkan dalam konteks relasi yang tidak imbang dengan dosen atau seniornya.

Sementara itu guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, juga turut memaparkan pandangannya. Ia benar-benar menyayangkan terbitnya Permendikbud itu karena menurut dia ada beberapa pasal-pasal polemik, salah satunya pasal 5 ayat (2) pada huruf b, f, g, h, l, dan m. Pasal tersebut malah bisa ditafsirkan melegalkan tindakan kekerasan seksual (seks bebas) bila disepakati korban.

“Pasal 5 ayat 2 menurut saya seharusnya dikoreksi lebih lanjut dan disusun ulang melibatkan pakar, guru besar, pendidikan, psikologi, hukum, parenting, bidang lain yang berkaitan dengan stakeholder. Pak menteri semestinya mengikutsertakan beberapa pihak itu termasuk rektor,” ujar Cecep.

Kemudian terakhir, Cecep memberikan solusi dan rekomendasi terkait Permendikbud No. 30 Tahun 2021. Beberapa di antaranya adalah Kemendikbudristek segera merevisi Permendikbud No. 30 Tahun 2021 dan status quo, mengkaji ulang melalui kajian akademik, pembentukan peraturan harus transparan, dan sebagai negara hukum masyarakat yang menolak pun dapat melakukan uji materiil terhadap muatan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 ke Mahkamah Agung.

Penulis: Puspita Triwijayanti dan Adien Tsaqif W
Editor: Aulia Anjani

Exit mobile version