Site icon Saluran Sebelas

Perkara Apresiasi

Oleh: Na’imatur Rofiqoh

 

SORE SEMILIR. Daku menikmati Tribun Solo edisi 15 November 2016 sambil melahap gorengan diselingi seruputan teh anget. Langit kemerah-merahan kuning jingga. Sore sempurna. Sesaat, mata daku berserobok dengan berita kecil hampir terlewat, mengabarkan keadaan Solo hari ini di rubrik berbahasa Inggris Solo Today. Di sana, terbaca kabar sebuah festival yang digagas kaum elit politik kampus. Demikian tajuknya: Festival Apresiasi Mahasiswa.

 

Waduh. Daku pikir sudah cukup Solo dibanjiri ratusan festival saban tahun, ternyata kampus yang berambisi menuju puncak impian di hati ini pun masih ingin unjuk gigi. Tidak apa-apa, boleh saja, boleh, boleh… Silakan bikin festival apa saja. Sebagai mahasiswa yang sudah terlihat karatan meski baru kuliah empat tahun setengah, rasanya agak tidak selesa jika daku masih mengurusi perihal kampus. Maka, kabar itu daku biarkan lesap bersama angin.

 

Malam tak bergemintang. Tetes hujan satu-satu mengetuk genting. Malam tiba-tiba sendu. Daku cari hiburan lewat telepon genggam kerana sudah capai baca buku. Rupanya, warga telepon genggam sedang ramai bincang-bincang perkara festival. Geser punya geser, di layar terbaca tajuk Sebelas Maret Award 2016. Widih, apa lagi ini? Konon, award (baca: awad) ini adalah ajang paling bergengsi seantero kampus, termasuk dalam hajatan akbar Festival Apresiasi Mahasiswa.

 

Daku yang rada penasaran melanjutkan pembacaan. Kata si penyebar kabar, bakal ada sepuluh kategori terpilih yang layak diapresiasi dalam ajang paling bergengsi ini: insan ilmiah, insan kreator, insan aktivis, insan sosial, insan public speaking, insan entrepeneur, insan tari, insan musik-best vocalist, insan atletik, dan insan bela diri. Ajakan mengikuti ajang bergengsi ini terdengar penuh keyakinan: “ayo daftarkan diri kamu, tak usah ragu tak usah malu. Kini saatnya segala prestasimu di Apresiasi!” Sayang, para calon “insan” yang harus mendaftarkan diri, meminta diapresiasi. Bukan penyelenggara yang mencari “insan” lewat seleksi ketat.

 

Daku sejenak menatap kata “Apresiasi” yang mesti terpisah dengan awalan “di-“ dan tanpa musabab tata bahasa yang patut dipertimbangkan, berhuruf kapital. Kata “apresiasi” mestilah penting banget sehingga penulisan mesti mengabaikan Ejaan Bahasa Indonesia. Daku meminta petunjuk kamus daring arti apresiasi. Kamus memberi penjelasan demikian: 1. Kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; 2. Penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; 3. Kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah.

 

Sebaran pesan ihwal Sebelas Maret Award 2016 yang merupakan rangkaian acara Festival Apresiasi Mahasiswa 2016. Acara tersebut digelar oleh BEM UNS.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dari tiga penjelasan kamus dan ajakan mendaftar tuan rumah hajatan, penjelasan kedua agaknya paling tepat untuk memahami “Apresiasi.” Tuan rumah merasa yang paling tepat memberi penilaian dan penghargaan pada jerih payah mahasiswa dalam kategori-kategori tertulis di atas. Buat ini, daku manggut-manggut. Tuan rumah hajatan memang memiliki otoritas secara hierarkis buat mengklaim diri paling sanggup paling berhak paling pantas menilai dan menghargai, meski sering jerih payah mahasiswa berolahraga, membela diri, berkemampuan bicara di depan umum, menyanyi, dan berwirausaha jarang demi tuan rumah hajatan. Kalau jadi aktivis sih, bisa jadi. Semenjak zaman lawas, kelompok elit kampus satu ini memang selalu mendaku jadi wakil kepentingan seluruh mahasiswa, meski cintanya selalu bertepuk sebelah tangan…

 

Malam sendu jadi puitis. Daku merenung-renung sambil membacai komentar nakal warga telepon genggam perihal award. Sepuluh kategori menjelaskan sepuluh hal penting yang menjadi prioritas utama mahasiswa dibanding yang lain-lain. Mata daku sudah mencari-cari, barangkali terselip di antara spasi, tetapi insan buku memang tidak diperhitungkan oleh tuan rumah hajatan. Mahasiswa yang sejak hari pertama berkuliah sampai penghabisan mesti bertarung dengan buku-buku tak cukup menjadi pantas untuk “diapresiasi”.

 

Eh, tapi ya, tidak apa-apa sih. Memangnya, sejak kapan mahasiswa UNS atas nama kaum politik elit kampus berkepentingan dan sanggup memuliakan buku-buku? Daripada ikut award, memang lebih mending ikut ajang Mas dan Mbak UNS yang agak waras tahun ini. Konon, para peserta diminta menulis essai. Meski agak bingung dengan kata “essai” (barangkali ini kerabat “esai” dan “essay”), ajang bergengsi yang satu ini patut kita apresiasi. Lha nggih.

 

Malam daku pun jadi pilu.[]


 

Na’imatur Rofiqoh. Penggarap sikiripisi (baca: skripsi), pendoa ulung. Surel: naimaturr@gmail.com.

Exit mobile version