Site icon Saluran Sebelas

Perempuan

Oleh: Rizka Nur L. M.

Musim panen telah berlalu, petak-petak sawah penuh dengan bongkot-bongkot padi bekas sabitan, maka perlu disapu dengan jalan melindasnya menggunakan roda-roda traktor yang bergerigi. Selain meluluh-lantakkan bongkot-bongkot padi bekas panen, traktor pun mengambil alih tugas sapi—satu-satunya jenis hewan yang ketika aku masih kanak-kanak tenaganya sangat diandalkan oleh petani di sekelilingku.

Kalau musim panen yang belum lama berlalu itu membuahkan hasil yang tak seberapa, maka mereka tak kan menciut sebab mereka selalu menimang-nimang optimisme dalam menapaki likuan kehidupan yang penuh bebatuan cadas, dan alangkah malunya diri yang mengaku ingin menjadi seorang terpelajar ini kalau ingat kerapkali tersungkur-sungkur meratapi kekalahan dalam kompetisi, aih betapa malunya. Lalu musim tanam datang membayang dan yang dielu-elukan oleh pihak yang berkepentingan tak lain adalah kehadiran hujan. Ya, hanya hujan. Maka cerita ini kutulis di tengah gemericik hujan yang tak pernah terdengar bising di telingaku.

Cerita tentang hati, tentang perasaan, tentang cinta yang mungkin saja datangnya dari hati yang tak lagi bisa didefinisikan kedalamannya kecuali oleh Yang Maha Mengetahui. Cerita ini bermuasal dari curahan hati beberapa perempuan muda di bumi manusia. Perempuan-perempuan yang batang usianya baru saja menapaki fase menuju kedewasaan. Perempuan-perempuan itu tak lain adalah teman karibku sendiri.

Hujan telah mereda bersamaan dengan selesainya paragraf pertama ceritaku ini, maka yang tersisa adalah petir-petir lunak yang berebutan menampakkan kilatannya di langit yang nampak tak tega mengkhianati mega. Sejenak, kutarik ingatanku kembali kepada pagi yang setangkup tadi, menanggalkan retorika tentang kau dan hujan. Apa kau suka hujan? Kukira tidak, kau suka peradaban. Muncullah aku dengan pakaian yang kukenakan pagi tadi, tengah sibuk memelototi layar ponsel butut, membaca lalu membalas pesan singkat dari seorang teman karibku.

“Misalnya kau sudah terlalu lama menunggu, akankah kau tetap bertahan atau justru mundur?” kubaca pesan singkat dari Nurul dan tak bernafsu untuk segera membalasnya. Bukan enggan membalas, namun aku tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaannya. Aku sendiri belum pernah mengalami hal seperti yang ia tanyakan. Maka kubalik ponselku dan kembali menenggelamkan diri pada lembar-lembar roman Bumi Manusia. Kusalin kalimat-kalimat yang menurutku menarik sebab di hari kemudian pastilah kubutuhkan kalimat-kalimat tersebut untuk membubuhi tulisanku. Kebanyakan penyair pada mulanya memang hanya menggubah karya-karya pendahulunya sebelum akhirnya menemukan jati diri karyanya sendiri.

Kalau tulisan para pendahulumu kesulitan mendapatkan rumah, maka sebaliknya jika kamu menghendaki tulisan-tulisanmu akan dapat dimuat di koran dengan mudah sebab perusahaan penerbitan koran yang berkembang sekarang ini lebih banyak menyoroti karya-karya penulis baru, tapi sekali lagi itu jika kamu menghendakinya. Menghendaki yang bagaimana? Tentu kamu telah tahu, tulisan-tulisanmu itu kirimkanlah ke penerbit koran, kamu bisa datang langsung ke kantornya atau kamu kirim melalui surat elektronik tentu akan lebih efisien. Janganlah gentar sebelum mencoba. Janganlah kegagalan itu kau jadikan alasan untuk berhenti berkarya sebab tulisanmu itu akan menemukan pembacanya sendiri, itu pasti. Begitulah Pak Prawoto—guru jurnalistikku— berpetuah guna menyulut semangat anak-anak didiknya.

“Tanyakan pada hatimu,” begitulah akhirnya balasan yang kukirim ke nomer ponsel Nurul. Aku tidak tahu apa jawabanku akan melegakan hatinya atau tidak, tapi itulah jawaban yang kudapatkan dari hatiku, tentu pula telah kupikirkan. Konsentrasiku pada roman Bumi Manusia mulai memudar, ada yang lebih menarik di retinaku. Untuk waktu selanjutnya kupastikan aku tenggelam dalam layar ponselku yang sebentar-sebentar berkedip. “Hatiku bisu, bahkan tak satupun bahasa tersisa,” balas Nurul. Refleks jemariku menggaruki dahi yang sama sekali tak gatal sambil memanyunkan bibir. Aku semakin tak mengerti apa yang diharapkan Nurul dengan mengadu masalahnya yang begituan kepadaku, barangkali dia butuh teman yang bisa menampung ceritanya alih-alih bisa membantu menyelesaikan masalah yang dia hadapi. Masalahnya di sini aku pun perempuan dan masalah hati memang selalu pelik bagi perempuan.
“Maka harus kau temukan alasanmu menunggu,” demikian kubalas pesan Nurul. Kurasa memang demikian, dulu ketika aku duduk di bangku Sekolah Dasar aku selalu berangkat sekolah bersama Afifah teman sekelasku yang kebetulan juga tetanggaku. Setiap pagi bisa dipastikan aku perlu singgah barang sepuluhan menit untuk menunggu Afifah benar-benar siap berangkat sekolah. Afifah adalah sahabatku sejak kecil, maka menunggunya puluhan menit tak masalah bahkan kebiasaan itu telah menjadi sebuah keharusan di diriku, keharusan menunggu yang bukan tanpa alasan. Selalu ada alasan.

“Hampir tiga tahun kenal dekat, bahkan aku tahu keluarganya. Hatinya pun tampan” balas Nurul. Aduhai, ini kisah cinta macam apa lagi, belum-belum sudah mengenal keluarga. Maka antara sadar dan tidur kubalas pesan dari Nurul, “Tunggu dia” dengan begitu kuharap masalah Nurul selesai. Lalu melayanglah ingatanku pada peristiwa lain. “Aku ada rencana bikin buku tempel buat Delbar, bagaimana menurutmu?” kata Naila ketika kami makan siang bersama di kantin sekolah. Naila dan aku sudah akrab semenjak pertama kali berkenalan, itu hampir enam tahun silam. Kau pasti bertanya-tanya siapakah Delbar itu? Delbar adalah sebutan yang dia sematkan untuk lelaki pujaannya, lelaki yang mungkin tak mengenalnya. Dugaan kuatku Delbar adalah tokoh sekaliber Jose Rizal yang namanya digunakan Andrea Hirata untuk menamai burung cerdas dalam dwiloginya (Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas). Beberapa waktu lalu Naila telah menuntaskan dua novel itu. “Kau pasti tahu buku harian Maria dalam film Ayat-ayat Cinta, nah seperti itulah yang kumaksudkan sebagai buku tempel,” kata Naila menambahi. Dengan sendirinya ingatanku meluncur ke dalam film Ayat-ayat Cinta yang kuputar berkali-kali hingga kudapatkan gambaran proyek yang bakal dikerjakan Naila.

Ketika Lila datang, aku dan Naila telah merampungkan makan siang kami. “Aku terlanjur bilang nggak bakal nungguin dia, padahal sebaliknya. Aku masih mengharapkan dia” cerocos Lila. Ini lebih pelik lagi, perempuan—sekalipun telah dikecewakan berulangkali masih saja tak tahu diri. Hening, Naila dan aku justru berpandang-pandangan dan tak kunjung memberikan respon atas curhatan Lila. Lila kemudian pergi meninggalkan kantin. Naila dan aku bersegera membayar makanan kami dan lari mengejar Lila yang dari langkahnya hendak menuju taman di dekat kolam pancing. “Lil, cowok itu bakalan maklum kok sama sikap cewek yang seperti itu. Kamu tenang aja, jodohmu nggak bakal dituker sama Tuhan,” kata Naila berusaha membesarkan hati Lila. Kubantu dia bangkit dari duduknya lalu kupeluk, dan dalam pelukan itu kurasai punggungku lembab. Ini pertamakalinya kuketahui Lila cewek yang sehari-harinya berpembawaan periang menangis.

***

Kisah Alina lebih teatrikal lagi. Sumber yang bisa dipercaya mengatakan Alina telah menyiapkan hadiah untuk lelaki pujaannya. Bahkan katanya, hadiah itu telah dibungkusnya sebelum ia menghadapi perhelatan besar (Ujian Nasional) di masa SMA-nya. Rencananya hadiah itu akan ia kirimkan ke alamat tinggal lelaki pujaannya empat tahun mendatang, setelah lelaki pujaannya itu lulus dari institut teknologi terkemuka di Jawa Timur. Oh God!

“Gila, kenapa Alina nggak mengirimnya sekarang aja?” tanya Lila ketika kuceritakan hal ini padanya. Nah, ini kesempatanku untuk membuktikan kepada Lila bahwa sahabatnya ini sudah mulai punya pandangan dewasa tentang cinta, bukan untuk mendapatkan kesan lebih di matanya namun hendak kuhapus cara pandangnya tentang aku yang selalu ia rasai kekanak-kanakan dalam menanggapi masalah cinta. Aku memperbaiki posisi dudukku dan siap memberikan jawaban yang diplomatis kepada Lila, “Gini Lil, kalau dikirim sekarang kan feel-nya kurang dapet, beda lagi ceritanya kalau dikirim empat tahun mendatang. Aku setuju dengan tindakan Alina, apa kau tidak?” kataku memulai perdebatan yang bisa dipastikan sulit menemui ujung jalan.

“Empat tahun itu pula dia harus menunggu, kamu sendiri apa mau menunggu sesuatu yang nggak jelas begitu?” tangkas Lila. Aku menghirup dalam-dalam udara di sekelilingku, mengumpulkan oksigen guna menegakkan hati menjawab perkataan Lila yang seperti belati itu. “Kalau jelasnya sekarang lantas apa yang hendak diperbuat? Akan merona bahagia kalau seandainya si cowok punya rasa yang sama, atau justru terus mengumpati hidup kalau seandainya hanya tangan sebelah yang bertepuk. Lantas kemana hendak kita cari kenikmatan hidup yang lebih memukau kalau cinta sudah harus bertemu di usia kita yang sedini ini. Bukankah kau pernah mengatakan bahwa Tuhan selalu menjanjikan kenikmatan yang memukau pada setiap ujian? Dan bukankah meneguhkan hati untuk menunggu itu juga salah satu bentuk ujian?” kurasai sendiri suaraku parau.

“Menunggu sembari terus berupaya meningkatkan kualitas diri akan lebih baik buat perempuan, Nduk,” kata ibu kost yang tiba-tiba muncul dari arah belakang kami.

Exit mobile version