Site icon Saluran Sebelas

PEREMPUAN DALAM BELENGGU KEKUASAAN

Sejak dulu hingga sekarang, seorang korban akan sulit mendapatkan jaminan perlindungan ketika berhadapan dengan kekuasaan. Apalagi jika korbannya adalah seorang perempuan dan kasusnya adalah tindak pelecehan. Pernyataan ini saya tegaskan didasari atas pengalaman saya pribadi sebagai saksi terhadap tindak pelecehan yang dialami oleh teman dekat saya. Singkat cerita, teman dekat saya bernama Santi (bukan nama sebenarnya) pernah dilecehkan oleh oknum dosen yang bernama Didung (juga bukan nama sebenarnya) saat angkatan kami melakukan penelitian lapangan di daerah Yogyakarta.

Tindak pelecehan tersebut terjadi di dalam bus saat malam hari. Semua bermula kala Didung memanggil Santi untuk menemuinya di tempat duduk paling belakang yang memang hanya ditempati oleh Didung seorang. Tempat duduk saya dan Santi kala itu memang tidak jauh dari kursi belakang sehingga saya bisa mengintip dari cela-cela kursi atas tindakan yang telah dilakukan oleh Didung. Semua terjadi begitu singkat, Didung membisikkan sesuatu ke telinga Santi sembari tangannya mulai berbuat ‘nakal’. Tiba-tiba Santi kembali ke sebelah saya dengan wajah tegang dan tangan gemetar. Sudah jelas, Ia kaget dan ketakutan. Saya hanya berusaha menenangkannya sambil berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Selama masa perjalanan di Yogyakarta, Santi selalu saya dampingi ke manapun untuk menghindari hal yang sejenis berulang. Semua sesuai dugaan, seluruh teman sekelas kami mendapatkan nilai A untuk mata kuliah yang diampu oleh Didung kecuali saya dan Santi. Kami mendapatkan nilai C, padahal kami selalu menghadiri perkuliahan tanpa pernah sekalipun bolos. Begitu juga tugas harian yang selalu kami kumpulkan tepat waktu. Kami memutuskan menemui Didung untuk mengetahui alasan pemberian nilai C yang hanya dijawab bahwa itu hak mutlak dosen.

Seharusnya saya menyadari bahwa alasannya sederhana⸻yang sejatinya tidak sederhana bagi korban⸻karena perempuan yang dilecehkan berada dalam dua posisi sulit saat berhadapan dengan kekuasaan. Dalam kasus ini, Santi adalah korban yang paling terluka, sementara saya hanyalah pihak yang kecipratan ampasnya⸻yang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan luka yang diderita Santi.

Pasrah Menjadi Mangsa atau Teraniaya Menjadi Hamba?
Agaknya dua posisi itulah yang dialami oleh perempuan ketika dilecehkan dan pihak yang melecehkannya adalah pihak yang dinaungi kekuasaan. Ketika ia memilih pasrah, maka ia akan menjadi mangsa empuk yang bisa ‘dicabik-cabik’ sesuka hati. Tak jauh berbeda jika ia menolak atau melawan maka ia akan menjadi hamba yang teraniaya oleh genggam kekuasaan yang dimiliki pelaku. Nasib Santi adalah potret ketakberdayaan perempuan di hadapan kekuasaan. Ketika perempuan memilih untuk menjaga harga dirinya maka ia harus kehilangan ‘keadilan’ lainnya. Sebaliknya, ketika perempuan memilih mempertahankan ‘keadilan’ yang lain itu, berati ia sudah siap untuk kehilangan harga dirinya.

Tak mengherankan jika John Berger dalam Ways of Seeing menyebut bahwa stigma yang masih beredar di masyarakat yaitu lelaki adalah manusia yang memandang perempuan. Sementara perempuan memang melihat dirinya sebagai makhluk yang dipandang. Lelaki selalu dipandang sebagai subjek, sedangkan perempuan adalah objeknya. Oleh sebab itu, lelaki dianggap lebih bebas karena ia subjek dan perempuan hanya bisa mengikuti kemauan lelaki karena ia hanyalah objek. Padahal, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menjadi subjek.

Belum lagi pandangan tentang perempuan sebagai penggoda iman laki-laki lewat lekuk indah tubuhnya dan pakaian yang terbuka. Dalih yang seringkali digunakan adalah analogi seekor kucing yang diberi ikan asin padahal manusia (lelaki) bukan kucing yang hanya mengandalkan insting. Manusia memiliki kehendak bebas melalui anugerah akal pikiran yang diberi Tuhan. Manusia (lelaki) dapat memilih untuk tergoda atau terjaga. Jika ia tergoda maka itu adalah urusannya dengan kehendaknya sendiri, bukan malah mengambinghitamkan orang lain (perempuan). Jika ia masih ngeyel dengan analogi kucing yang disodori ikan asin maka sederhana saja: Ia memang tak layak disebut manusia sebab ia dengan tekad yang bulat telah mengikrarkan diri sebagai seekor kucing.

Akhir kata, layakkah negeri ini mengaku merdeka jika perempuan masih dijeruji dengan stigma-stigma dan sikap-sikap yang menodai arti dari kata ‘kebebasan’ dan ‘keadilan’ itu sendiri?

Penulis: Akhmad Idris (Kontributor)
Editor: M. Wildan Fathurrohman

Exit mobile version