Site icon Saluran Sebelas

OLIMPIADE SEHARUSNYA TAK IKUT SERTAKAN TRANSGENDER

Perhelatan Olimpiade Tokyo 2021 telah dihebohkan dengan keikutsertaan seorang transgender bernama Laurel Hubbard. Ia berkompetisi pada cabang olahraga angkat besi putri kategori 87 kilogram. Atlet berkebangsaan Selandia Baru tersebut dinobatkan sebagai transgender pertama yang berkompetisi pada ajang olimpiade sepanjang sejarah. Sebelum memutuskan menjadi transgender saat berusia 35 tahun, ia berkompetisi di kategori laki-laki. Olimpiade memperbolehkan transgender untuk mengikuti cabang olahraga dengan syarat memenuhi kriteria sesuai kategori jenis kelamin yang dipilih. Bagi transgender yang ingin mengikuti kategori wanita harus mengikuti persyaratan yang mengharuskan semua atlet wanita memiliki tingkat testosteron di bawah 10 nanomole per liter selama 12 bulan sebelum bertanding.

Walaupun ia gagal meraih medali, keikutsertaannya telah menimbulkan kontroversi. Saya sendiri tidak setuju karena berbagai alasan yang akan saya bahas lebih lanjut dalam artikel ini. Sesuai judul artikel ini, saya akan membahas “mengapa olimpiade seharusnya tak ikut sertakan transgender” sebagai pemantik diskusi menarik mengenai topik yang masih asing di negeri ini.

Alasan mengapa transgender tidak boleh mengikuti olimpiade dan berbagai kompetisi sejenis ialah laki-laki dan wanita berbeda secara biologis. Pengetahuan akan perbedaan laki-laki dan wanita secara biologis sudah menjadi pengetahuan yang umum saat ini. Perbedaan tersebut bahkan bisa kita lihat secara langsung. Selain perbedaan biologis, terdapat pula perbedaan kemampuan fisik. Dilansir dari website halodoc, perkembangan keterampilan motorik pada anak laki-laki, seperti berlari, melompat, dan menjaga keseimbangan lebih cepat daripada perempuan.

Perbedaan kemampuan tidak hanya bisa diukur dari jumlah testosteron yang dihasilkan antara laki-laki dan wanita dalam jangka waktu tertentu seperti yang ada di aturan olimpiade. Hal tersebut dikarenakan jumlah testosteron telah berpengaruh pada pembentukan kemampuan fisik laki-laki semenjak perkembangannya. Menurut American Psychology Society dalam sebuah studi pada tahun 2004 menyatakan bahwa laki-laki dapat menghasilkan tenaga lebih efisien daripada wanita karena otot rangka yang berbeda pada keduanya. Otot rangka pada laki-laki dapat menghasilkan output maksimum yang lebih tinggi daripada wanita.

Selain itu, proporsi darah pada laki-laki jauh lebih tinggi dibanding wanita. Proporsi darah mempengaruhi banyaknya oksigen yang mampu didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Hal tersebutlah yang menyebabkan laki-laki lebih tangkas dalam berkegiatan olahraga daripada wanita. Berbagai perbedaan biologis tersebut bersifat ilmiah, artinya hal tersebut dapat diuji dan dibuktikan. Karena ilmiah, perbedaan itu benar adanya, pasti, dan tidak dapat dikesampingkan.

Terdapat satu contoh menarik yang membuktikan perbedaan tersebut mempengaruhi kemampuan olahraga dan perbedaan tersebut sangat timpang antara laki-laki dan wanita sehingga laki-laki dapat mendominasi perempuan pada bidang olahraga. Contoh tersebut terlihat pada pertandingan persahabatan antara juara dunia sepakbola wanita, timnas wanita Amerika Serikat melawan tim junior laki-laki di bawah 15 tahun dari klub FC Dallas. Tim junior tersebut berhasil mengalahkan juara bertahan dunia dengan kedudukan 5-2. Hal tersebut membuktikan bahwa perbedaan yang mendominasi tersebut bukanlah sebuah mitos.

Pembagian antara laki-laki dan perempuan pada suatu kompetisi itu berdasarkan jenis kelamin, bukan gender yang dibentuk oleh budaya atau masyarakat. Dengan begitu, kita tidak bisa mendasarkan pada konsep kesetaraan gender untuk mengikutsertakan transgender pada kompetisi yang pembagiannya berdasarkan jenis kelamin.

Transgender yang perkembangan fisiknya semenjak kanak-kanak hingga dewasa adalah perkembangan fisik laki-laki, lalu ketika dewasa mengikuti kompetisi wanita, tentu hal tersebut dapat merusak keadilan persaingan pada kompetisi tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, perkembangan laki-laki itu lebih menguntungkan daripada wanita pada bidang olahraga. Kompetisi besar seperti olimpiade seharusnya memperhatikan kualifikasi terlebih dahulu, jika hal ini dibiarkan, bisa jadi dalam tahap kualifikasi para wanita kalah saing dengan transgender sehingga kompetisi wanita malah tidak ada perwakilan wanitanya, hanya transgender yang ikut serta. Ketidakadilan seperti itu tentunya dapat menjadi mimpi buruk olahragawan wanita.

Skenario-skenario tersebut dapat kita hindari dengan pelarangan transgender untuk ikut serta dalam kompetisi yang pembagiannya hanya laki-laki dan perempuan. Hak transgender untuk dapat mengekspresikan diri pada bidang olahraga bisa diberikan kompetisi khusus untuk mewadahi mereka. Hal tersebut merupakan solusi paling ideal menurut saya. Transgender mendapatkan wadah, kompetisi lain tidak menjadi korban. Seperti halnya para difabel yang mendapatkan wadahnya pada ajang kompetisi paralimpiade. Namun, jika tidak bisa dibuatkan kompetisi khusus, minimal wadahnya berupa mendapatkan kategori khusus pada olimpiade atau kompetisi lainnya.

Konsep kesetaraan gender merupakan konsep yang baik tetapi ada hal-hal tertentu yang memang tidak setara secara ilmiah seperti fisik pada kasus ini. Ketidaksetaraan tersebut janganlah disetarakan secara paksa karena dampaknya dapat merugikan. Konsep kesetaraan gender seharusnya berbicara tentang akses dan kesempatan, mengenai penolakan terhadap berbagai diskriminasi, bukanlah mengenai kesetaraan gender yang mutlak dan buta. Kesetaraan gender juga harus menerima ketidaksetaraan yang alamiah, dan dapat membedakan antara kodrat alami dan kodrat yang dibentuk oleh masyarakat. Adanya transgender yang ikut olimpiade merupakan pemaksaan pada prinsip yang dibangun oleh kompetisi berdasarkan kondisi alamiah, yaitu jenis kelamin, dan kasus ini berpotensi memiliki dampak yang merugikan, yaitu menimbulkan ketidakadilan dari perbedaan yang alamiah. Kesetaraan gender yang lahir dari rasa kemanusiaan seharusnya berkembang tanpa merusak kemanusiaan itu sendiri.

Penulis: Rama Mauliddian Panuluh
Editor: Aulia Anjani

Exit mobile version