Selama ini, isu kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi selalu menimbulkan polemik. Baik di dalam kehidupan masyarakat, di meja-meja rapat pemerintah maupun partai politik. Ada yang setuju dan sudah barang tentu ada yang siap pasang badan, menolak. Rakyat kecil gelisah mikir perut. Habis kalau BBM naik, sembako otomatis ikut naik. Dalam bayangan kita, semuanya menjadi serba sulit.
Padahal kita tahu, dalam hidup sehari-hari, harga BBM sebenarnya telah lama mengalami kenaikkan yang justru didalangi rakyat sendiri. Contohnya itu harga bensin yang dijual secara eceran. Harga premium dari pemerintah Rp6.500 per liternya. Para pedagang itu menjual kembali dengan harga Rp7.000 per botol. Dan bagi pedagang yang buka 24 jam, bensin tersebut mengalami kenaikkan lebih besar ketika dijual di atas jam sepuluh malam. Saya sudah mengalaminya sendiri.
Melalui pengamatan sederhana yang saya lakukan, hampir tidak ada pedagang bensin eceran yang menawarkan bensin harga resmi per liter. Harga warung: Rp7.000 per botol. Dengan penawaran per botol para pedagang ini tak perlu merasa membohongi pelanggannya. Memang isi bensin di dalam botol itu kurang dari satu liter. Ada yang takarannya 10 liter bensin dijadikan 11 botol. Ada juga yang 20 liter bensin dijadikan 21 botol. Jika kita ambil yang paling mahal (takaran pertama), hitungan kasar pedagang itu telah menaikkan harga sekitar Rp1.100 per botol. Toh, masyarakat tetap beli tanpa protes.
Melihat kenyataan begini, pemerintah pun hanya bisa kukur-kukur sirah, terheran-heran dalam kebimbangan, “Soal harga BBM kalau rakyat kecil kok boleh naik, kalau pemerintah mesti jadi polemik!”
Masalahnya, sekarang pemerintah tak punya cukup dana lagi untuk mensubsidi. Hal ini sebenarnya sudah diketahui pada akhir masa jabatan SBY-Boediono, namun kebijakan menaikkan harga BBM urung dilakukan. Kini, masalah itu dilimpahkan pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla bersama kabinet Kerja. Jelaslah kenaikkan harga BBM itu menjadi tantangan tersendiri, apa lagi ini masih masa awal pemerintahan.
Pemerintah pun mikirnya dobel, bimbang antara menyengsarakan rakyat masa kini dengan menaikkan harga BBM atau tetap mensubsidi dengan cara hutang yang membebani generasi masa depan. Pada akhirnya, pemerintahan Jokowi-JK pada 17/11 lalu memutuskan untuk menaikkan BBM bersubsidi sebesar Rp2.000. Premium menjadi Rp8.500 sedang Solar menjadi Rp7.500.
Itu adalah salah satu jalan yang cukup bijaksana yang dapat diambil, jika memang kita (masyarakat Indonesia) tak mau berada pada suatu situasi penyesalan, seperti yang digambarkan oleh WS. Rendra dalam puisinya yang berjudul Maskumambang: “Cucu-cucuku! Zaman macam apa, peradaban macam apa, yang akan kami wariskan kepada kalian! Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang. Kami adalah angkatan pongah. Besar pasak dari tiang. Kami tak mampu membuat rencana menghadapi masa depan.”
Konsumsi BBM
Anak muda sekarang ingin cepat-cepat ke masa depan. Anak SD sudah merengek minta diajari mengendarai motor. Waktu masuk SMA permintaanya ganti lagi, ingin dibelikan motor. Masih kurang, kuliah minta mobil. Dealer motor dan show room mobil pun semakin menjamur. Iklan membujuk merajuk; kredit diobral. Lha wong, setiap hari itu pasti ada motor dan mobil baru yang terjual. Dari yang muda sampai yang tua merasa wajib naik kendaraan pribadi, transportasi publik tidak keren.
Akibatnya konsumsi BBM gila-gilaan bengkaknya. Belum lama ini di berbagai daerah terjadi kelangkaan BBM. Bukan yang pertama, tentu saja! Semua lapisan masyarakat tumpah ruah antre di SPBU terdekat, termasuk siswa dan mahasiswa. Padahal sebagian besar siswa-siswa dan mahasiswa sekarang itu masih ngathung alias minta uang pada orang tua. Jika sudah begini, mengutip pertanyaan penting para orang tua pada anaknya, “Terus sing mbensini sapa?”
Ujung-ujungnya pemerintahlah yang harus mbensini. Menurut Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina, Hanung Budya dalam berita Solopos (29/10) lalu, “Rata-rata pertumbuhan konsumsi BBM mencapai 8% – 9% per tahun.” Banyaknya konsumsi BBM ini membuat pemerintah harus merogoh kocek lebih dalam. Bahkan tak segan-segan cari utangan untuk diberikan kepada masyarakat (subsidi), utamanya kelas menengah ke atas yang hampir setiap anggota keluarganya punya motor atau mobil. Tetap, pada akhirnya, pemerintahlah yang kelimpungan. Ngalor-ngidul memberi subsidi BBM. Lha kok tetap diteror kalau mau menaikkan harga BBM. (Hanputro)