Penamaan buku Sarinah diambil dari nama pengasuh Ir. Sukarno semasa kecil. Sebagai ucapan terima kasihnya atas cinta dan kasih yang telah diberikan padanya. Di dalamnya ia memetakan kisahnya dalam enam bab. Kisah tentang dirinya, wanita, wanita dan laki-laki, perjuangannya mendapatkan kebahagiaannya yang sempat retak dalam hatinya, dan peranan yang seharusnya dimainkannya dalam panggung masyarakat.
Peran?
Hingga kini, masih banyak wanita Indonesia yang terkurung oleh pandang-an lama. Yang menganggap wanita adalah warga kelas dua yang utamanya bergerak di wilayah domestik. Tak hanya itu, ia ibaratkan sebutir mutira yang disimpan di dalam kotak karena begitu berharga. Yang harus dijaga dan dipingit dalam penyimpanannya. Bahkan dengan lebih kejam lagi, Professor Havelock Ellis menambahkan, kebanyakan orang laki–laki memandang wanita sebagai “suatu blesteran seorang dewi dan seorang tolol”. Bak dewi yang harus dijaga dan dihormati, dan orang tolol yang tidak akan pernah dewasa.
Seolah keadaannya belum jatuh terlalu dalam, wanita kerap kali masih ditindas kaum laki–laki. Berbagai kekerasan fisik maupun psikologis ha- rus diterima wanita dengan lapang dada, tanpa diizinkan untuk mengeluh. Padahal, sudah sepantasnya laki–laki dan wanita berjalan beriringan secara normal dan tidak saling menguasai. Karena alam telah membuat manusia berpasang-pasangan, laki–laki tak mungkin ada jika tidak ada wanita begitupun sebaliknya, wanita tak mungkin ada jika tidak ada laki– laki.
Begitu pentingnya wanita ini, sehingga ia tidak sepantasnya dijaga, dipi- ngit, dan diperlakukan dengan semena-mena. Tanpa disadari, pengurung-an–pengurungan yang dilakukan terhadap wanita telah “merusak atau mengurangi sedikit kebahagiaan” wanita itu. Ia begitu diagungkan, tetapi pada kenyataannya, kreativitasnya telah dibatasi. Alhasil, saat ini bangsa Indonesia masih terbelakang dalam banyak urusan kemajuan.
Hal ini telah disadari dengan sungguh oleh Ir. Sukarno, bahwa peran perempuan ini sangat vital untuk perkembangan negara. Sebagai-mana yang diungkapkan olehnya, “Kita tidak dapat menjusun Negara dan tidak dapat menjusun masjarakat, djika kita tidak mengerti soal wanita”. Banyak kisah lain pun telah menunjukkan bahwa keterlibatan wanita memberikan dampak yang signifikan pada beberapa negara, misalnya India dan Rusia. Seperti yang telah dibuktikan oleh Mahatma Gandhi dan Lenin bahwa keberadaan wanita mempengaruhi kemajuan dan kemunduran di negaranya.
Sampai hari ini, kisah wanita dalam buku ini, masih sangat relevan di era sekarang. Misalnya masalah gender, budaya, hubungan keluarga, dan keterlibatan wanita dalam politik. Banyak kaum wanita yang masih terkurung dalam kultur lamanya yang mendudukkan wanita pada kehidupan domestik saja, pula banyak wanita yang belum mendapatkan haknya secara penuh seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan merasa aman.
Dengan adanya buku ini diharapkan masyarakat dapat menghapus pemikiran lama yang terbelakang, dan optimis bahwa kaum wanita mampu mewujudkan tanggung jawabnya tersebut beserta perananannya sesuai dengan cita–cita. Hanya saja, karena buku ini tertulis dengan ejaan lama, setiap kata harus dicerna terlebih dahulu. Juga sering terjadi pengulangan kata yang digunakan sehingga dapat membuat pembaca merasa jenuh. Secara keseluruhan, buku ini sangat cocok untuk di baca semua kalangan, tidak hanya bagi kaum wanita saja, melainkan juga kaum laki–laki.[] (Hidattin Niha)