Oleh: Hanputro Widyono
SASTRA adalah mesin perjuangan. Dominasi bahasa yang mutlak dikandungnya, membuat berbagai kepentingan menyusup ke dalam sastra. Salah satu yang dapat kita sebut adalah kepentingan umat feminisme di Indonesia. Feminisme memperjuangkan dua hal yang selama ini dianggap tidak dimiliki kaum perempuan pada umumnya, yaitu persamaan derajat mereka dengan kaum laki-laki dan otonomi untuk menentukan yang baik bagi dirinya.
Umat ini dalam banyak hal beranggapan bahwa perempuan tersubordinasi. Perempuan lebih rendah dibandingkan dengan posisi laki-laki. Perempuan didudukkan sebagai warga kelas dua. Laki-laki saja yang mendapat perhatian dan didengarkan keputusannya. Perempuan dipaksa untuk mengikuti mereka. Laki-laki boleh kawin dua bakan empat kali. Perempuan hanya boleh dikawini. Oh, betapa jahatnya laki-laki. Huh!
Beberapa waktu lalu, di bazar buku saya menemukan buku Djenar Maesa Ayu yang berwarna merah. Sampulnya terdapat ilustrasi tombol-tombol papan kontrol Play Station. Murah sekali, hanya 13.000 rupiah harganya. Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), judul bukunya. Pengarang asal Jakarta itu sering dinilai sebagai pengarang perempuan penganut paham feminisme, sekaligus “pejuang” gender. Djenar acap menampakkan protes atas dominasi laki-laki dalam karya sastranya. Ah, saya langsung tertarik. Apalagi di halaman belakang buku itu ada foto Djenar yang ayu dan sexy. Tanpa berpikir untuk main-main, saya langsung membelinya.
Saya pulang, lalu membacanya di atas ranjang. Saya kaget, agak lemas. Sebelas cerpen yang dimuat di dalam buku itu kok tidak mengajakku berpikir tentang kesetaraan gender, seperti yang digembar-gemborkan publik terhadap sosok Djenar. Saya jadi gelisah. Cerpen-cerpen itu justru mengajak tidur dan bermimpi—basah. Jantung saya berdegub lebih cepat. Duh!
Saya pun jadi teringat puisi Taufiq Ismail:
Penulis-penulis perempuan, muda usia, berlomba mencabul-cabulkan karya, asyik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dalam Gerakan Syahwat Merdeka/ Dari halaman-halaman buku mereka menyebar hawa lendir yang mirip aroma bangkai anak tikus telantar tiga hari di selokan pasar desa/ Aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu aku memikirkannya.
Barangkali, puisi Taufiq Ismail itu, salah satunya memang ditujukan buat Djenar, pikir saya. Kesetaraan gender kok yang diurusi cuma masalah selangkangan? Padahal seharusnya persamaan hak itu meliputi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya (Djayanegara dalam Sugihastuti, 2005: 61).
Secara iseng-iseng saja, tulisan ini bermaksud mendekonstruksi pandangan-pandangan terhadap karya-karya Djenar yang dianggap sebagai wakil dari gerakan feminis yang menginginkan kesetaraan. Semacam kritik ideologis. Dari sana akan diungkapkan gambaran sikap dan posisi perempuan dalam meraih kesetaraannya, dengan memperhatikan teknik penggunaan sudut pandang, struktur alur dan tokoh sehingga akan didapatkan ideologinya yang berwujud implied author atau nilai yang dianut dan komitmen pengarang.
Di sini, kita akan melihatnya melalui cerpen Menyusu Ayah, cerpen yang sangat fenomenal dan sempat menjadi cerpen terbaik pilihan Jurnal Perempuan tahun 2002. Kisah diawali dengan konflik perasaan seorang bayi yang bernama Nayla. Ia mengingat perlakuan semena-mena ayahnya terhadap ibunya. Ayahnya menuduh sang ibu bahwa ia (Nayla) bukanlah anaknya. Akan tetapi hasil perselingkuhan. Berawal dari kejadian itulah, kemudian Nayla—yang waktu itu masih berada di dalam kandungan—merasa harus menjadi anak yang kuat, dengan atau tanpa figur ayah.
Cerpen ini menggunakan narator seorang perempuan muda (Nayla), yang sekaligus menjadi tokoh utama. Dari sana saya menangkap sinyal bahwa cerita sebenarnya, pascakematian sang ibu, Nayla sering kali menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki di sekitarnya. Baik itu Ayahnya, teman-teman Ayahnya, maupun teman-teman sebayanya. Akan tetapi karena menggunakan model penceritaan tokoh utama, cerita itu menjadi tampak berlainan. Di sini, tokoh perempuan yang dalam pandangan saya menjadi korban justru digambarkan sebagai tokoh yang aktif dalam melakukan tindak seksual.
Saya senang jika teman-teman Ayah memangku dan mengelus-elus rambut saya… Saya senang setiap kali bibir mereka membisiki telinga saya… Saya senang cara mereka mengarahkan kepala saya perlahan ke bawah dan membiarkan saya berlama-lama menyusu di sana… Saya sangat rindu menyusu Ayah.
Setiap pergantian adegan dalam cerpen itu selalu diawali dengan kalimat perkenalan diri Nayla sebagai sosok perempuan yang tidak lemah. Ini merupakan wujud eksistensial sang tokoh. Model perkenalan seperti ini, dapat pula kita jumpai dalam prosa liris Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Perempuan Jawa karya Linus Suryadi Ag, yang jauh lebih dulu terbit pada 1981. Sosok Nayla yang digambarkan Djenar sebagai perempuan kuat ini semakin nyata dan spesial seperti dalam cuplikan seperti ini:
Sayalah yang membantu Ibu melahirkan, bukan dokter kandungan. Ketika ibu kehabisan napas dan sudah tidak dapat lagi mengejan, saya menggigiti dinding vagina ibu dengan gusi supaya jalan keluar bagi saya lebih mudah. Ketika detak jantung Ibu melemah dan desah napasnya tinggal satu-satu, saya menendang rahim ibu dan mendorong badan saya keluar keras-keras.
Bayangkan, bayi perempuan yang masih di dalam kandungan saja, sudah diberikan tugas dan peran yang tampak begitu heroik. Padahal, bayi laki-laki saja tidak seperti itu. Umat feminis terlalu mendewakan perempuan. Ketika ia tumbuh remaja, Nayla tidak berdandan selayaknya perempuan pada umumnya. Ia justru lebih senang seperti laki-laki. Segala hal yang dimiliki laki-laki diinginkan juga dimiliki perempuan. Namun yang dimiliki perempuan, tidak dibiarkan dimiliki laki-laki.
Saya mengenakan celana pendek atau celana panjang. Saya bermain kelereng dan mobil-mobilan. Saya memanjat pohon dan berkelahi. Saya kencing berdiri. Saya melakukan segala hal yang dilakukan anak laki-laki.
Puncak dari cerita ini adalah ketika Ayah Nayla “memperkosa”nya. Nayla dihamili oleh Ayahnya sendiri. Hal ini tentu buntut dari nafsu birahi yang selalu dirindukan Nayla. Namun ia tidak suka dinikmati laki-laki. Ia hanya mau menikmati laki-laki. Karena kegeramannya itu, ia memilih membunuh Ayahnya sekaligus ayah dari calon anaknya.
Tangan saya meraih patung kepala kuda di atas meja dan menghantamkan ke kepalanya. Tubuhnya mengejang sesaat sebelum ambruk ke tanah.
Cerita ini kemudian ditutup dengan narasi yang menyatakan bahwa Nayla kini adalah seorang calon ibu dari janin yang kelak akan berubah menjadi seorang anak yang kuat dengan atau tanpa figur ayah. Model penceritaan dan nasib yang dialami seseorang dan berkelanjutan pada anak-anaknya semacam itu meniru sistem reinkarnasi dalam agama Budha.
Sejak awal Djenar telah memliki kesadaran mengenai isu gender dan sistem patriarki yang berkembang di masyarakat sekitarnya. Tentu bukan suatu hal yang mudah dilakukan Djenar untuk melawan sistem itu secara langsung. Oleh karena itu, ia memanfaatkan karya sastra sebagai media untuk menyampaikan gagasan-gagasannya.
Djenar membentuk tokohnya lebih dominan dari laki-laki. Seakan-akan dunia ini tetap dapat berputar tanpa adanya laki-laki. Tidak tampak adanya pembagian tugas, hak, dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki harus dilenyapkan. Pandangan patriarki yang menyatakan laki-laki dan perempuan sebagai superior dan inferior ingin diubahnya menjadi inferior-superior. Begitukah gerak feminisme?[]
(Foto dilansir dari estaticara.com)