Site icon Saluran Sebelas

Maryam: Apakah Masyarakat Indonesia Sudah Toleran?

Judul               : Maryam
Penulis           : Okky Madasari
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan         : Februari 2012
Tebal               : 275 hlm

“Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram. Kami hanya mohon keadilan. Sampai kapan kami harus menunggu?” tulis Maryam.

Ia (Maryam) adalah sesosok wanita tegar dalam menghadapi kegelisahan, prahara, diskriminasi dan pengasingan dalam hidupnya hanya karena dituduh “berbeda”. Ini semua di luar kuasanya jika Ia harus dilahirkan dari keluarga Ahmadiyah di sebuah desa kecil daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Maryam tak bisa memprotes takdir Tuhan.

Sebagai seorang wanita desa kecil di pesisir, Maryam diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan hingga ke tingkat Perguruan Tinggi di Surabaya. Di sana, Maryam hidup mandiri meski tinggal bersama dengan keluarga Ahmadiyah teman ayahnya. Setelah lulus, ia merantau ke Jakarta untuk bekerja dan berumah tangga.

Penggambaran konflik demi konflik mulai terasa ketika Maryam menginjak dewasa. Pasca perceraiannya dengan suaminya, Alam, Maryam kembali ke kampung halaman. Tapi ia tak menemukan keluarganya. Rumahnya telah ditempati orang lain. Hingga kemudian ia tahu bahwa orangtua dan anggota kelompok Ahmadiyah lainnya telah diusir dari tanahnya sendiri. Mereka diusir dan diancam dibunuh lantaran telah didakwa “sesat”.

Visualisasi penggambaran ceritanya terkesan linear atau datar. Penulis mencoba mengisahkan kehidupan Maryam sejak masa kecil hingga sebelum ia kembali kembali ke kampung halaman. Dalam novel setebal 275 halaman itu, cerita berkutat pada bumbu konflik percintaan, sengketa dalam rumah tangga, hingga konflik dengan  keluarga di kampung halaman.

Penulis tampaknya sengaja menerapkan alur sedemikian rupa agar pembaca lebih memahami dan  hanyut dalam cerita. Memang novel ini merupakan fiktif. Namun kejadian yang terdapat dalam novel boleh jadi merupakan sebuah cerminan kejadian nyata yang sering terjadi di kehidupan bermasyarakat Indonesia. Ini diperkuat dengan pengakuan penulis (Okky Madasari) bahwa ia melakukakan riset mendalam tentang kasus-kasus tersebut dengan cara terbang langsung ke Lombok dan melakukan investigasi mendalam—dengan tinggal di barak pengungsiannya—tentang kelompok Ahmadi di sana.

Dalam pemberitaan-pemberitaan media massa, kelompok Ahmadiyah ini memang paling sering mengalami diskriminasi, kejadian brutal dan kekerasan verbal maupun fisik, seperti kasus yang terjadi di Lombok dan Bandung. Konflik semacam ini diakibatkan karena adanya ego yang selalu mengatakan  bahwa “yang kecil” yang berbuat salah, “yang besar” yang benar. Sudah begitu, “yang kecil” justru mendapat sedikit sekali perhatian dari pemerintah. Maka ia semakinlah menjadi “kecil”. Seperti Maryam.

Berkata tentang perbedaan sudah dijelaskan dalam konsep toleransi kehidupan bernegara, yaitu menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Dan sudah seharusnya sikap toleransi ditanamkan untuk mencapai “Persatuan Indonesia”.

Sayangnya tampak penanaman nilai-nilai toleransi di negeri ini masih kurang sekali. Mudahnya masyarakat menerima dan terpengaruh isu-isu sensitif juga membuktikan bahwa masih kurangnya pegangan sikap toleransi dalam masyarakat. Apakah para intoleran ini berani berkata bahwa mereka melakukan segala tindakan tersebut karena perintah Tuhan? Saya yakin tidak pernah sekalipun Tuhan memerintahkan manusia untuk membunuh, membakar, dan berbuat kekerasan lainnya kepada sesamnya. Apa lagi cuma dengan alasan perbedaan!

Dan seperti banyak cerita-cerita yang mengangkat isu toleransi keberagamaan, novel ini juga ditutup dengan sikap yang netral. Abstain. Pembaca bebas menilai dan menyimpulkannya sendiri. Cerita di akhir novel diakhiri dengan surat terbuka Maryam, seperti yang dicuplikan untuk membuka tulisan ini. (Dimas)

Exit mobile version