Site icon Saluran Sebelas

MARHAEN HARI INI

Prolog

Marhaen namanya, seorang petani yang ditemui Bung Karno di Jawa Barat pada 1927. Beberapa literatur menyebutnya sebagai Aen atau Mang Aen. Aen bukan buruh tani, ia memiliki alat produksi sendiri —cangkul, arit, garu, palu— bahkan memiliki lahan sendiri. Namun, dalam dialognya dengan Bung Karno, ia mengadu meskipun bekerja keras dan memiliki sarana produksi, hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Ia tidak mampu bersaing dalam sistem ekonomi yang timpang.

Dari perjumpaan inilah Bung Karno merumuskan istilah “Kaum Marhaen”, yakni rakyat kecil yang bukan buruh upahan murni, tetapi juga bukan kapitalis. Mereka bekerja untuk diri sendiri, dengan tetap dalam keadaan tertindas karena struktur sosial-ekonomi yang tidak adil.

Maka lahirlah Marhaenisme, suatu ideologi yang memperjuangkan kemerdekaan sejati rakyat dari penjajahan, termasuk penjajahan ekonomi.

Kaum Marhaen Digital

Hampir seabad berlalu, Kaum Marhaen baru muncul. Mereka bukan sang kaum intelektual yang menjaga panji dan eksklusifitas organisasi, tetapi mereka adalah pengemudi ojek online. Mereka seperti Marhaen dulu, punya alat produksi sendiri: sepeda motor, ponsel pintar, dan aplikasi. Mereka tidak digaji tetap seperti buruh pabrik,  tetapi juga tidak memiliki kendali atas sistem yang mereka ikuti. Mereka digerakkan oleh algoritma, diberi julukan “mitra”,  lalu dikekang oleh aturan sepihak yang tidak bisa dinegosiasikan.

Perusahaan memangkas pendapatan pengemudi melalui skema potongan komisi hingga 20-25%, sementara tarif layanan dikendalikan secara dinamis dan seringkali tak masuk akal. Belum lagi sistem algoritma yang memaksa pengemudi berlomba merebut “slot” murah seperti Aceng, Hemat, atau Prioritas, yang justru mereduksi pendapatan mereka.

Mereka bekerja 12-14 jam sehari, tetapi terkadang masih sulit memenuhi kebutuhan primer. Mereka adalah Marhaen digital, mandiri secara teknis, tetapi tidak berdaya secara struktural.

Dan, Mereka Melawan

20 Mei 2025, mereka melakukan Gerakan yang bertajuk “Aksi 205”, dilakukan serentak di berbagai daerah. Di Jakarta, tepatnya Markas Garda Indonesia, para pengemudi ojol bergerak untuk menyasar kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Istana Merdeka, DPR RI, serta kantor-kantor aplikasi atau perusahaan aplikator.

Mereka membawa suara, harapan, dan sederet tuntutan yang mewakili nasib pengemudi ojol di seluruh Indonesia. Tuntutan itu ditujukan kepada negara, kepada wakil rakyat, dan kepada perusahaan-perusahaan teknologi yang selama ini mengambil untung besar dari kerja mereka. Dilansir dari BBC, tuntutan dalam demo ojol untuk sejumlah pemangku kebijakan sebagai berikut.

Sementara di Solo, massa ojol yang tergabung dalam Gabungan Aksi Roda Dua (GARDA) juga melontarkan tuntutan yang kurang lebih sama. Press release yang dikeluarkan lebih menekankan ke beberapa hal; belum pernah ada Surat Keputusan Gubernur yang mengatur kenaikan tarif sejak 2022, padahal mestinya sudah naik seiring tumbuhnya UMR sebesar 16,7%. Ditambah, sejak era kolonial hingga UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, objek angkutan selalu mencakup orang dan/atau barang. Namun, dalam Permenhub 12/2019, pengaturan hanya berlaku untuk penumpang, sementara makanan dan barang dibiarkan tanpa kepastian hukum.

Tidak ada permintaan yang di luar nalar. Mereka tidak menuntut kepemilikan saham di perusahaan aplikasi, tidak meminta gaji tetap, apalagi fasilitas mewah. Yang mereka minta hanyalah aturan yang ditegakkan, potongan yang adil, forum dialog yang terbuka, serta tarif yang manusiawi dan transparan. Semua ini adalah hal-hal sederhana yang seharusnya sudah menjadi standar dalam ekosistem kerja yang sehat. Namun, ironisnya justru untuk hal sesederhana inilah mereka harus turun ke jalan.

Aturan Ada, Keberpihakan Tidak Terasa

Aksi 205 hari ojol adalah cermin betapa perlindungan negara terhadap rakyatnya masih setengah hati. Peraturan sebenarnya sudah ada — mulai Permenhub PM Nomor 12 Tahun 2019 hingga Kepmenhub KP Nomor 1001 Tahun 2022, tetapi pengawasan dan penegakan hukumnya lemah, bahkan nyaris tak terasa di lapangan.

Ketika perusahaan aplikator melanggar regulasi tanpa konsekuensi, maka aturan tinggal menjadi simbol, bukan pelindung. Negara seperti sekedar hadir secara normatif, tetapi tidak benar-benar membela. Perlu digarisbawahi, regulasi hanya efektif jika diikuti dengan mekanisme pengawasan yang ketat dan sanksi yang membuat pelanggar jera. Perusahaan masih bebas memanipulasi istilah “mitra” untuk menghindari tanggung jawab sebagai pemberi kerja, sambil meraup untung besar dari jerih payah pengemudi ojol.

Epilog

Jika Bung Karno hidup hari ini, ia mungkin tidak hanya menemukan Marhaen di sawah, tetapi juga di jalan-jalan kota, di persimpangan lampu merah, atau di teras-teras gedung menunggu notifikasi pesanan. Ia akan melihat bahwa perlawanan terhadap ketimpangan belum selesai —hanya berganti bentuk.

Kemandirian ekonomi hanya mungkin terjadi jika disertai keadilan bagi mereka yang menggerakkan roda. Namun, apa artinya memiliki motor dan telepon jika penghasilan direnggut oleh sistem yang tidak adil? Pemerintah sudah membuat regulasi, tetapi tanpa penegakan, itu hanya ilusi. Jangan sampai perjuangan ojol lewat Aksi 205 ini menjadi bukti bahwa negara masih memilih berpihak pada oligarki ketimbang rakyatnya sendiri.

 

Penulis: Dioziando Wirabuana Pratama

Editor  : Aji Nugroho

Exit mobile version