Site icon Saluran Sebelas

Klasik yang Tersisa

Oleh: Rizka Nur Laily Muallifa dan Dian Ayu Lestari

ALUNAN instrumen jaz Bossa nova membelai cuping telinga. Gemanya anggun nan elegan. Cukup merepresentasikan apa-apa yang nampak mata begitu masuk ke dalam auditorium berkapasitas ratusan itu. Berbalut warna merah dan pencahayaan sedemikian rupa, panggung terkesan menyala tajam. Seolah enggan takluk pada nuansa kelam malam. Beberapa pengeras suara dengan tiang penyangga didirikan di sisi panggung. Pengeras suara yang digantung lebih banyak jumlahnya. Memper-klasik suasana, grand piano dengan keadaan terbungkus kain berdiri gagah di tengah panggung bagian belakang.

Instrumen jaz Bossa nova masih menggaung. Dari lantai dua, tempat di mana awak media berada, nampak hilir mudik orang tak kunjung reda. Mungkin pertanda rasa tak sabar harus diredam. Acara belum akan dimulai. Meski begitu, di barisan kursi paling depan beberapa petinggi universitas, juga perwakilan dari Dinas Pariwisata Kota Surakarta tak gusar oleh masa penantian itu. Hadir di antaranya Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Darsono; Pembina Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Voca Erudita, Susy Susmartini; perwakilan Dinas Pariwisata Kota Surakarta, Eni; dan beberapa profesor senior. Dari gerakan tubuh, mereka terlihat asyik berbincang dengan kiri kanannya.

Differzo: An Unconventional Gala Concert bermuasal dari kata differzo dalam Bahasa Italia yang berarti berbeda. Meminjam ungkapan Darsono dalam sambutannya, penampilan Voca Erudita (18/3) yang menyuguhkan tiga sesi berupa Classic Session, Contemporary Session, dan Folklore Session begitu menakjubkan. Lagu asal Jerman yang diciptakan pada abad 17, Die Himmel Erzahlen Die Ehre Gottes dipilih sebagai permulaan. Mengantar penonton pada nuansa klasik yang menggetarkan jiwa. Berturut-turut disusul lagu berjudul Io Mi Son asal Prancis, dan Ave Verum Corpus yang diaransemen William Byrd asal Inggris. Di bawah pimpinan Redi Sabtono, sesi Klasik bermaksud memberikan penghargaan pada musik-musik klasik beserta tokoh-tokoh di balik penciptaannya. Genre, yang notabene menjadi cikal bakal berkembangnya musik bergaya paduan suara.

Jam menunjukkan pukul 20.15 WIB ketika Classic Session usai. Pembawa acara menggiring acara berikutnya, sambutan-sambutan. Seperti sambutan yang mengawali acara-acara resmi di kampus kenamaan di Surakarta ini, Darsono menaburi sambutannya dengan menyebut sederet peringkat yang dicapai Universitas Sebelas Maret (UNS). Ihwal ini coba tanyakan pada mahasiswa-mahasiswa yang aktif mengikuti acara senada. Pasti mereka hafal mendengar sesumbar peringkat yang melulu disampaikan para petinggi kampus. “Peringkat ketiga versi BAN-PT, peringkat keempat versi 4icu, peringkat keenam versi webometric, peringkat kelima versi greenmatric, dan capaian-capaian lainnya,” Demikian Darsono berujar. Sebelum akhirnya menyinggung pentingnya prestasi mahasiswa di kancah internasional sebagai pendobrak reputasi kampus.

Contemporary Session menampilkan sosok Ardian Dika Adhyatma yang nampak lebih segar dari segi umur menggantikan Redi Sabtono. PSM Voca Erudita menyentakkan penonton supaya bersegera menanggalkan nuansa klasik yang mereka suguhkan sebelumnya. Masih berbalut gaun hitam dengan hiasan senyala emas melingkar di kepala para perempuan, serta setelan kemeja dan celana hitam membalut tubuh yang laki-laki. Menuju dunia musik kontemporer yang penuh kontemplasi lirik dan nada.

Nuansa di atas panggung sontak menjadi jalang. Beberapa kali kaki-kaki menghentak, dibersamai tepukan tangan-tangan menyentak penonton yang hadir. Dies Irae yang digubah dari puisi Latin dan merupakan aransemen orang Indonesia bernama Ken Steven menjadi lagu pembuka dalam sesi ini. Empat lagu lain turut diperdengarkan. Lagu berdurasi enam menit hasil aransemen Richard Burchard asal Amerika Serikat, Citivit Anima Mea menjadi lagu kedua yang disisipi kejutan di sana-sini dalam pembawaannya. Demikian juga dengan lagu asal Spanyol hasil aransemen Javier Busto yang berjudul O Magnum Mysterium. Konon, itu merupakan lagu pesanan. Javier Busto diminta untuk mencipta lagu yang kemudian dikenal khalayak luas sebagai standar kompetisi paduan suara internasional. Itulah O Magnum Mysterium. Diikuti dua lagu berikutnya, Nyon-nyon, dan Double Double Toil and Trouble yang tak ayal merupakan soundtrack film Harry Potter menggenapi sesi ini. Panggung kemudian lengang.

Menyudahi penasaran penonton yang sedari tadi retinanya meloncat-loncat mencari sumber suara, dari sudut-sudut penjuru kursi bermunculan orang-orang menuju panggung. Ialah Infinito, paduan suara beranggotakan alumnus-alumnus Voca Erudita. Giliran para veteran unjuk gigi. Menampilkan empat lagu di antaranya Ilir-Ilir dan Harapanku hasil aransemen Wahyu Purnomo. Paduan suara yang sebagian besar telah menyandang status sebagai Ibu-Bapak itu tak kalah dengan penampilan juniornya. Tubuh lenggak-lenggok ke kiri kanan dan kualitas suaranya terbukti membuat penonton terkesiap.

“Ini adalah bukti bakti kami kepada kampus tercinta,” begitu Ketua PSM Voca Erudita, Agustina Rini Endah berujar. Konser tahunan yang kebetulan dibaktikan mahasiswa dalam Lustrum kedelapan UNS, diakhiri dengan sesi lagu-lagu daerah. Berturut-turut dinyanyikan lagu daerah Maluku berjudul Hela Rotan yang diaransemen oleh pemuda Indonesia kelahiran 1993, Ken Steven. Kruhay, lagu tradisional Filipina yang berisi tentang doa supaya diberi umur panjang dipilih sebagai lagu kedua. Diikuti Tari Indang atau Din-din Badindin yang kerap kali ditampilkan dalam acara-acara di daerah Minangkabau sebagai lagu penghabisan. Meski tak benar-benar habis.

Sebagai perjanjian dengan penonton yang riuh dengan teriakan “lagi…! Lagi…! Lagi…!” You Rise Me Up menjadi lagu pungkasan. Sementara malam belum begitu kelam, instrumen jaz kembali mengalun. Mengantar penonton keluar dari dunia musikal penuh imaji.[]

Foto: Dian Ayu Lestari

Exit mobile version