Ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) Sekolah Vokasi Universitas Sebelas Maret (UNS) 2025, Yuris Setyo Budi Utama, dimakzulkan dari jabatannya setelah dinilai tidak lagi menjalankan tugas organisasi secara optimal. Sejak April, Yuris tidak terlihat dalam kegiatan organisasi, tidak membalas pesan, dan tidak merespons panggilan dari pembina. Ketidakhadirannya menyebabkan DEMA mengalami krisis kepemimpinan serta menghambat program kerja karena seluruhnya membutuhkan otorisasi dari ketua.
“Ketua Komisi IV sudah mencoba mendatangi kosnya bersama stafnya, tetapi tidak ada tanggapan sama sekali dari Yuris,” ujar Faradina Latifa, Sekretaris Jenderal DEMA SV 2025. Padahal, seluruh program kerja DEMA memerlukan tanda tangan ketua. Akibatnya, kegiatan lembaga legislatif mahasiswa tersebut terhenti.
Setelah berbagai upaya komunikasi gagal, pihak DEMA memutuskan mengadakan forum Organisasi Mahasiswa (Ormawa). Forum itu dihadiri oleh BEM SV dan ormawa lainnya, meskipun keputusan akhir tetap diambil oleh internal DEMA. Dalam forum tersebut, disepakati pemakzulan Yuris dari jabatan Ketua DEMA SV 2025.
“Semuanya sepakat untuk memberhentikan, karena kalau DEMA tidak berjalan, itu mengganggu kinerja ormawa lainnya,” jelas Faradina.
Langkah tersebut sempat terganjal oleh aturan: pemakzulan dianggap bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), karena ketentuan sebelumnya hanya mengatur pemberhentian jika ketua mengundurkan diri dan/atau meninggal dunia. Untuk mengatasi hal ini, DEMA akhirnya merevisi AD/ART agar memungkinkan pemakzulan.
Namun, hasil penelusuran tim Saluran Sebelas menunjukkan bahwa pemakzulan ini bukan sekadar soal ketidakhadiran. Di balik keputusan tersebut, terdapat dinamika yang jauh lebih kompleks.
Forum Internal Penentu Kepemimpinan
Berbeda dengan anggapan umum bahwa suara terbanyak dalam Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) otomatis menentukan ketua DEMA, sistem di DEMA SV memang membuka ruang pemilihan ketua melalui forum internal legislatif. Pada Pemilwa 2024 lalu, Faradina Latifa memperoleh suara legislatif terbanyak dengan 232 suara, sementara Yuris memperoleh 165 suara.
Namun, suara terbanyak tidak otomatis menentukan kursi ketua. Dalam sistem yang berlaku, calon legislatif dari daerah pemilihan (dapil) berbeda yang lolos otomatis menjadi anggota DEMA, dan posisi ketua dipilih dalam forum internal.
Dalam forum tersebut, DEMA mempertimbangkan faktor non-elektoral, seperti kesiapan personal, prioritas organisasi, dan kelancaran komunikasi lintas lembaga. Menurut Faradina, salah satu pertimbangan memilih Yuris sebagai ketua adalah evaluasi internal DEMA tahun sebelumnya yang menilai fungsi pengawasan terhadap BEM tidak berjalan efektif. Komunikasi antar-lembaga dinilai terhambat, bahkan BEM disebut menolak diawasi.
“DEMA itu kurang mendapat dukungan karena BEM terlalu kuat dan DEMA lemah, mungkin karena ketua umumnya perempuan, jadi dari BEM menolak diawasi,” ucap Faradina.
Pernyataan ini menimbulkan satu isu sensitif: apakah gender menjadi faktor dalam penentuan kepemimpinan? Dan jika ya, apakah hal tersebut masih dapat dibenarkan?
Dugaan Bias Gender dalam Kepemimpinan
Naiknya Yuris sebagai ketua DEMA diduga turut dipengaruhi oleh kekhawatiran kurangnya sinkronisasi antara DEMA dan BEM jika DEMA dipimpin oleh perempuan. Dalam evaluasi DEMA sebelumnya, Faradina menyebutkan bahwa komunikasi antara DEMA dan Presiden BEM yang laki-laki tidak berjalan efektif saat ketua DEMA adalah perempuan.
“Di periode sebelumnya, kurang ada pendekatan antara BEM dan DEMA karena presiden BEM laki-laki dan ketua DEMA perempuan. Maka dari itu, kami mempertimbangkan hal itu,” ujarnya.
Alasan lain adalah karena Yuris dianggap memprioritaskan DEMA sebagai organisasi utama, sementara Faradina kala itu tidak menjadikan DEMA sebagai prioritas utamanya. Namun, pertanyaannya: apakah benar gender menjadi variabel penting dalam menentukan kepemimpinan, ataukah ini hanya dalih mempertahankan struktur dominan yang telah ada?
Tarik Ulur DEMA dan BEM Soal Fungsi dan Kewenangan
Persoalan di antara DEMA dan BEM tidak hanya menyangkut kepemimpinan, tetapi juga batas kewenangan. Faradina mengeluhkan beberapa program kerja yang seharusnya menjadi tanggung jawab DEMA justru dijalankan oleh BEM. Beberapa kementerian dalam struktur BEM juga disebut menolak diawasi oleh Komisi I DEMA.
“Harusnya pengawasan dari Komisi I dilakukan kepada kementerian, tapi pihak BEM sudah mengetahui hal tersebut dan menolak untuk diawasi,” jelas Faradina.
Sebaliknya, Presiden BEM SV, Parhan, menilai evaluasi DEMA tidak konsisten. Ia menyebutkan bahwa rapat dengar pendapat (RDP) yang seharusnya dilakukan setiap bulan sering kali tertunda atau digabung dua bulan sekali.
“RDP yang seharusnya sebulan sekali malah dirapel dua bulan. Otomatis, program kerja tiap bulan jadi tumpang tindih. Karena itu, menteriku bisa saja menolak,” katanya.
Krisis Legitimasi dalam Sistem Internal
Sistem pemilihan ketua DEMA SV melalui forum internal memang sah secara prosedural. Namun, mekanisme ini membuka pertanyaan soal legitimasi representasi. Mengapa suara mahasiswa yang menentukan komposisi legislatif tidak serta-merta menentukan arah kepemimpinan?
Ketua KPU SV UNS 2024, Petrus Chastro Dinovanko Putrawu, mengakui bahwa pihaknya hanya mengurusi perolehan suara legislatif. “Untuk alur pemilihan ketua DEMA, jujur saya tidak tahu,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa sistem Pemilwa Legislatif di Sekolah Vokasi seharusnya memiliki keterwakilan dari tiap dapil. Dengan hanya tiga calon dari dua dapil, Yuris dan Faradina otomatis lolos. Selanjutnya, forum internal menjadi penentu.
Namun, keputusan penting ini tidak pernah dikonsultasikan kepada mahasiswa sebagai pemilih. “Kami hanya berdiskusi internal dengan Ketua DEMA sebelumnya dan Ketua KPU,” ujar Faradina.
Yuris hampir resmi diberhentikan dari jabatan Ketua DEMA SV 2025. Namun hingga kini, belum ada penjelasan resmi kepada publik mahasiswa. Proses berjalan tertutup, dan sebagian besar mahasiswa tidak mengetahui bahwa keputusan legislatif telah diambil.
Penulis: Annas Rohmanda Purbaningrum & Dioziando Wirabuana Pratama
Editor: Salma Fitriya Nur Hanifah