Oleh : Ririn Setyowati
BAIK yang bernama Budi, ada Budinya, non Budi, hingga yang pernah dipanggil guru budi pekerti. Coba kita ingat-ingat lagi. Kapan terakhir kita menjadi sosok yang budi di dunia maya. Walaupun di dunia nyata juga tidak budi-budi amat. Setidaknya, demi kenyamanan dan kefasihan menjadi generasi milenial, agaknya kita perlu memahami dan memaknai budi kembali.
Anggap saja sebagai rasa terimakasih kepada ibu bapak guru. Yang telah menulis nama Budi berkali-kali dalam otak kita lewat papan tulis. Sehingga kita – barangkali – lebih mengenal Budi daripada teman-teman sekelas.
Sayangnya, kebiasaan ibu bapak guru tersebut berhenti saat kita lulus dari Sekolah Dasar (SD). Budi jadi tidak setenar dulu. Materi kemudian diajarkan tanpa analogi sederhana lewat Budi, Ani maupun Andi. Kelas lebih memilih mengajarkan nilai, rumus dan hafalan kalimat-kalimat panjang. Disajikan oleh ibu bapak guru melalui metode membaca slide Power Point.
Keberadaan sekolah menjadi alpa akan obrolan dan keasyikan.
Lalu apa kabar Budi sekarang? Ia kini terganti dengan nama-nama lain. Seperti, Donald Trump, Jokowi, SBY, Prabowo dan Awkarin yang lebih asyik digunjingkan saban harinya. Atau nama-nama Song Joong Ki, Song Hye Kyo, Lee Min Ho dan segenap keluarga EXO yang kita jadikan junjungan. Kita jadi lupa sama Budi. Dan Budi bisa saja menyalahkan ibu bapak guru atas kejadian itu. Tapi kita tidak boleh begitu.
Karena tidak mungkin ibu bapak guru terus-menerus mengajarkan kita dengan Budi. Perlu diketahui ibu bapak guru juga manusia yang dinamis seperti kita. Ibu bapak guru lama-kelamaan juga akan terjamah oleh keasyikan bernama grup Whatsapp, Facebook dan Instagram. Referensi nama akan semakin banyak, meninggalkan Budi yang kian terkubur oleh zaman.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, bisa saja, lho, kelupaan kita adalah hasil keluputan ibu dan bapak guru. Karena beliau-beliau ini nampaknya terlampau asyik megajarkan nama Budi saja. Bukan budi. Padahal budi – dengan ‘b’ kecil – merupakan pelajaran yang seharusnya bisa dibawa jalan-jalan, nonton tv, membuat status, mengunggah video blog, chatting-an, bahkan bisa dibawa mati.
Di dunia maya kita bebas melakukan apa saja, menggunjingkan siapa saja, termasuk berkata ‘janc*uk’ pada orang yang lebih tua. Dunia maya tak memandang status sosial, umur dan norma. Tapi coba kamu disuruh berkata ‘janc*uk’ dengan sopan di hadapan guru, polisi, tentara atau paling tidak di hadapan tetanggamu yang sudah kamu kenal. Ada dua kemungkinan. Kamu tidak akan berani karena takut digampar atau kamu tidak akan pernah berani karena takut dicap tidak sopan.
Atau tidak usah segreget itu. Ketika kamu sedang jalan-jalan lalu berpapasan dengan seseorang yang sedang makan di restoran daging babi. Coba tegur dia, katakan bahwa jangan makan babi karena haram. Kalau perlu kutipkan dan bacakan ayat-ayat untuk orang itu. Di depan mukanya.
Tapi cobalah untuk tidak marah, ketika kamu hendak menyembelih sapi dan tiba-tiba seseorang melepaskan ikatan si sapi sehingga ia bisa kabur. Seseorang itu kemudian berkata bahwa membunuh sapi adalah dosa besar dan menjelaskan alasannya. Di depan mukamu.
Saya yakin selain ibu Malin Kundang, tidak ada lagi orang yang sampai hati menyumpahi orang lain di depan mukanya. Kecuali di depan layar gawai dan di dalam kolom komentar. Seolah ada segolongan manusia yang komposisi kehidupannya hanya terdiri dari keburukan, dosa dan patut dihina. Namun ada juga sebagian golongan yang tanpa cacat, baik paras, tindakan maupun sifatnya. Sehingga bisa dijadikan nabi ke 26, 27, 28, dan seterusnya.
Menjadi netizen atau warga penghuni dan pemakai internet – apapun bentuknya – membuat kita alpa dengan kenyataan bahwa kita juga warga manusia, warga sosial di dunia nyata maupun maya. Lagipula, orang tua dan macam-macam teman yang kita miliki juga hidup dan berwujud. Bukan hanya nama akun yang dengan mudah kita un-friend atau un-follow.
Mungkin kata-kata Daniel Boorstin (1962) bisa kita dijadikan renungan, jangan-jangan sudah menjadi lebih mudah untuk menjadi di sana (dalam konvensi politik nasional, isu yang dibawa media) dalam dunia maya, ketimbang di sini (dalam rumah, keluarga, pertemanan) di tempat kita berdiri yaitu dunia nyata.
Seperti akun-akun media sosial kita yang begitu ramai melarang rencana SNSD tampil di selebrasi hari kemerdekaan Indonesia. Namun, kita tetap asyik-asyik saja tirakatan (baca: dangdutan) sampai pagi. Ah, yang penting kita sudah ikut melarang simbol pelacuran dan melestarikan kearifan lokal. Pokoknya, Tarik mang!
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) harus direvisi lagi. Tirakat nampaknya bukan lagi bermakna: menahan hawa nafsu, berpantang, atau berpuasa. Untuk itu marilah kita berdoa. Semoga budi tidak memiliki nasib yang sama seperti tirakat. Biarlah budi tetap menjadi budi yang ada dalam KBBI. Yang merupakan alat batin dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk.
Atau kalau lebih suka yang singkat-singkat. Tak lupa juga kita doakan, semoga ‘budi’ dan maknanya masih akan disamakan dengan hati nurani, akhlak, amal, perbuatan baik, ikhtiar dan lain sebagainya. Setidaknya, begitulah kata Tesaurus Indonesia
Sungguh begitu besar makna dan fungsi budi. Namun yang tersohor hanyalah dua: nama Budi dan ruangan guru budi pekerti yang mengajarkan murid jalan jongkok dan pangkas rambut plontos. Maka, sebagai salah satu upaya menolak lupa. Agaknya para pesohor dan pemuka kepercayaan media sosial, bisa memulai unggahannya dengan menyampaikan sapaan dan salam “Netizen yang budiman ..”
Selain bisa menjadi pengingat. Barangkali salam tersebut bisa mendatangkan rahmat Tuhan bagi para netizen yang memahaminya.
Sungguh tak apa bila Budi yang menjadi kenangan. Namun jangan abaikan bahwa kita masih butuh budi. Jangan biarkan budi menghilang bersama Rudy Tabooti dan dunia kapurnya – yang sempat jadi motivasi utama bangun subuh semasa kecil. Ia (budi) bertanggung jawab menemani kita dimana-mana dan selamanya. Untuk itu, jangan diusir. Budi bisa durhaka, tetapi budi tidak.
[author title=”Ririn Setyowati” image=”https://www.saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/04/Ririn-Setyowati.jpg”]Seorang mahasiswi pembelajar pesan. Sering dikatakan terlalu belia dan belum pantas. Namun, menepis stempel dini bukan merupakan hal yang salah. Mencoba mengimplikasikan ‘manusia bermoral’ seperti apa yang diharapkan Moctar Lubis dalam pahamnya. Surel: ririnsetya198@gmail.com. [/author]