Site icon Saluran Sebelas

Kentingan Baru Dieksekusi (Babak Dua)

Warga Kentingan Baru tengah mengangkut barang-barang setelah penggusuran, Rabu (19/12) - Septia Rani/LPM Kentingan

 

Penggusuran kembali terjadi di Kentingan Baru pada Rabu, 19 Desember 2018. Penggusuran ini merupakan penggusuran lanjutan yang sebelumnya telah dilakukan pada 6 Desember 2018. Penggusuran berlangsung dengan diwarnai tangis warga. Beberapa warga pingsan setelah melihat rumahnya dihancurkan menggunakan alat berat.

 

Sama seperti penggusuran dua pekan yang lalu, terdapat pasukan berbaju hitam bertuliskan ‘relawan’ dengan jumlah yang tidak sedikit turut serta turun ke lapangan dengan tujuan mempermudah proses penggusuran. Mereka bertugas mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam rumah warga.

 

Dalam penggusuran kali ini banyak warga yang mengaku belum mendapatkan tali asih. “Pagi tadi katanya cuma yang udah dapat tali asih saja yang digusur, tapi sekarang semuanya sudah rata dengan tanah.” ujar Untung salah satu warga yang rumahnya turut dirobohkan. Untung melanjutkan bahwa dia sangat tertekan dan tidak tahu akan pergi ke mana karena rumah satu-satunya yang ia miliki telah hancur. Sementara pihak eksekutor mengatakan bahwa tali asih telah diberikan. “Tali asih sudah kami berikan, kalau masalah sampai atau enggak silakan tanya kepada pihak yang telah saya titipi” ujar Haryo Anindhito Mukti selaku kuasa hukum pemilik lahan.

 

Pernyataan tersebut membuat warga semakin kesal. Warga saling meneriakkan bahwa tali asih belum sampai ditangannya. “Diam dulu!” teriak salah seorang warga. Kuasa hukum pemilik tanah menawarkan ganti rugi 35 Juta Rupiah per Kartu Keluarga untuk warga lama, tetapi yang menerima hanya 14 orang. “Banyak yang menganggap saya berbohong karena hanya memberi 5 Juta di awal. Saya mau tanah dirobohkan dulu baru 30 Juta saya berikan.” kata kuasa hukum pemilik lahan. Pihak eksekutor menginginkan lahanya segera bisa digunakan. “Kesabaran kami sudah habis, pokoknya hari ini saya pingin semuanya rata! Jika ada yang masih keberatan silakan menggat!” pungkasnya.

 

Penggusuran tahap dua Kentingan Baru ini berakhir sekitar pukul 15.00 dan merobohkan hampir seluruh wilayah Kentingan Baru. “Bagian utara itu udah rata dengan tanah, tadi hampir masuk ke wilayah sini namun kita minta kompensasi penundaan karena kebanyakan yang tinggal di wilayah ini penghuni lama dan belum dapat tali asih” ujar Karno, Ketua Paguyuban Warga Kentingan Baru. Telah dijanjikan bahwa semua penghuni lama Kentingan Baru akan mendapatkan tali asih. Kendati demikian, pada penggusuran tahap dua ini terdapat beberapa rumah warga lama yang belum mendapat tali asih yang turut dihancurkn eskavator.

 

Karno menceritakan bahwa dahulu tanah ini memang tanah milik perorangan. Pada masa orde baru tanah ini diminta pemerintah untuk fasilitas UNS, namun ternyata tanah ini justru dibagi-bagikan ke pejabat. Beberapa orang lantas mulai membangun rumah di atas tanah tersebut. “Karena selama 18 tahun sudah tidak diungkit-ungkit, kita merasa aman, nyaman, tinggal disini. “ ujar Karno. Saat ini warga menginginkan ganti rugi segera diberikan.

 

Baca Juga: Kentingan Baru Dieksekusi

 

Dukungan Paska Eksekusi

Aksi Kamisan Solo ke-17 mengecam pemerintah yang mengambil secara paksa hak hidup rakyat kecil atas nama sebuah hak milik dan investor pembangunan, dalam hal ini adalah apa yang terjadi di Kentigan Baru.

 

Aksi kamisan kali ini mengusung tema perampasan ruang hidup sebagai bentuk perlawanan mereka pada kasus penggusuran tanah yang semakin merajalela di berbagai kota di Indonesia. Menurut Herman Arief, salah satu peserta aksi, penggusuran lahan sering terjadi di negara ini untuk kepentingan korporasi dan kapitalisme. Seperti Surabaya yang menjadikan estetika kota sebagai alasan untuk menggusur beberapa lahan. Begitu juga Solo, di mana negara lebih mementingkan kucuran uang dari investor daripada rakyatnya sendiri yang membutuhkan tempat tinggal. “Maka, penggusuran ini adalah salah satu bentuk dari pelanggaran HAM yang dilakukan negara terhadap rakyat kecil.” katanya kemudian.

 

Pada pasal 27 Undang Undang Pokok Agraria dan Pasal 32 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah diterangkan bahwa hak atas tanah hapus (hilang) apabila ditelantarkan, dan bisa dituntut kembali sebelum jangka waktu lima tahun. Ketika lima tahun tanah itu terlantar, berarti hak atas tanah tanah dapat dicabut.

 

“Faktanya selama 18 tahun pihak-pihak yang punya sertfiikat tanah itu menelantarkan tanah, tetap saja pemerintah berpihak kepada para orang yang mempunyai sertifikat ini.” ujar Ocit dengan nada berteriak, salah satu peserta yang ikut berorasi “Di negara kita padahal sudah diatur dalam undang-undang bahwa orang-orang miskin dan anak terlantar dipelihara oeh negara,” katanya. Menurutnya jika negara benar-benar mematuhi undang-undang, maka orang-orang miskin dan terlantar seharusnya dipelihara oleh negara, disediakan tempat tinggal oleh negara.

 

Liza Kusdartanti, juga menegaskan hal tersebut dengan berpendapat bahwa banyak hal-hal yang disalahgunakan dan dilanggar oleh negara, termasuk perampasan hak hidup dan keterpihakan terhadap pemodal atau investor. Peserta aksi dari Tangerang itu juga menyinggung tentang psikologis anak-anak korban penggusuran yang menurutnya perlu mendapat perhatian.

 

“Negara tidak melihat psikologis anak-anak yang rumahnya digusur. Di mana mereka melihat langsung saat rumahnya dihabiskan oleh mesin penghancur dan keluarganya dipukuli oleh pemerintah saat melawan. Negara tidak melihat perkembangan psikologi mereka dan dampak dari kejadian itu terhadap pemikiran mereka kelak. Pemerintah buta akan itu. Dan kami disini berusaha untuk membuka mata hati orang-orang, khususnya warga sekitar, agar tidak tinggal diam dan melawan ketidak-adilan ini.” Ujarnya.

 

Sampai akhir, Aksi kamisan tersebut hanya menuntut satu hal, yaitu tanggung jawab dari negara atas hilangnya hak hidup rakyat kecil di Kentingan Baru atas penggusuran tanah yang sudah dilakukan.[]

 


 

Reporter dan Penulis: Imriyah, Hesty Safitri, Umi Wakhidah

Exit mobile version