Site icon Saluran Sebelas

Kampus dalam Kubangan Politik (Praktis)

 

Lapangan Banteng, 1982.

 

Pada mulanya adalah kampanye. Kemudian kerusuhan. Kemudian tuduhan pada Partai Persatuan Pembangungan (PPP).

 

Kejadian yang berakibat korban jiwa dan dikurungnya sekian aktivis ini bermula dari massa beratribut PPP, yang tidak hanya melintasi tapi mengejek kerumunan massa Golkar (Golongan Karya) yang sedang kampanye.

 

Congor saja tidak cukup, batu-batu pun digunakan. Kita tidak usah repot-repot membayangkan lemparan batu itu sebanyak rintik hujan atau tidak. Tapi lihatlah nekat dan tololnya massa PPP. Mereka tidak hanya datang tapi juga menantang! Saat kampanye!

 

Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum (Bapemilu) Golkar tampil bijak. Dia tidak mengutuk, tapi memberi solusi. Bahwa untuk mencegah hal ini kembali terjadi dibutuhkan metode kampanye baru: kampanye dialogis.

 

Kebijaksanaan merebut simpati. Golkar adalah pihak yang didzalimi. Misi berhasil.Kemudian partai Golkar menang lagi. Kemudian Soeharto Presiden lagi.

 

Namun untunglah PPP tidak seperti peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga pula. Setidaknya kerusuhan lapangan banteng terkuak rekayasanya. Ada “oknum” Golkar di balik nelangsa (Viva.co.id, 23 Oktober 2008).

 

MARI kita ingat sosok Sarwono lagi. Pihaknya yang bikin rusuh, pihaknya yang bikin solusi, dan puncaknya, pihaknya juga yang mengabaikan solusinya sendiri.

 

Dari pemilu ke pemilu. Dari 1987 ke  1992, ide kampanye dialogis tak pernah mewujud. Kampanye sekadar igauan yang tak lebih dari masturbasi mulut. Jika ada dialog, itu pun tak kurang menyedihkan ketimbang kelas perkuliahan dengan dosen yang menganggap dirinya seonggok kebenaran.

 

Kita menilik Kompas terbitan 17 Mei 1997 pada halaman C. Dan Kompas meminta kita menilik Kompas terbitan 2 april 1987.

 

Kampanye Golkar pada Pemilu 1987 di Lapangan Bola Urip Sumohardjo, Jakarta Timur mencuatkan pertanyaan Susanto Djaja, penjual beras kawasan Jatinegara.

 

Penjual beras itu naik panggung menyanding Sudharmono, Ketua Umum Golkar. Kita membayangkan manusia berjejal mendongak ingin melihatnya. Susanto pun paham jadi pusat perhatian dan orang-orang ingin melihatnya dan maka dia berteriak: “SAYA HARAPKAN GOLKAR MEMBERSIHKAN KORUPTOR DAN MANIPULATOR DARI ORDE BARU, DAN MENURUNKAN HARGA SEMBILAN BAHAN POKOK!”

 

Tepuk tangan membahana.

 

Sudharmono menyambut pernyataan penuh harap itu,”keinginan yang diajukan Susanto Djaja, juga merupakan keinginan dan cita-cita partai Golkar. Golkar memperjuangkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dan pada suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa tidak ada lagi koruptor dan manipulator.”

 

Sayangnya kita tidak tahu adakah tepuk tangan untuk perkataan Sudharmono itu atau tidak, membahana atau tidak, atau jangan-jangan masih sekadar kelas perkuliahan yang menyedihkan tadi. Kompas tidak memberitakannya.

 

 

Kampanye Dialogis—Akhirnya

 

17 tahun setelah nubuat kampanye dialogis turun, akhirnya diamalkan juga. Majalah Kentingan edisi 4 mewartakannya.

 

Kentingan menganalisa kampanye ini malah “berlangsung dengan kaku, penuh skenario, dan disambut dingin masyarakat dan dua OPP (Organisasi Peserta Pemilu, red), yaitu PDI (Partai Demokrasi Indonesia, red) dan PPP.”

 

Kedua OPP tersebut merasa kampanye dialogis ini hanya menguntungkan Golkar. Karena hanya Golkar yang mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar, dengan kekuatan-kekuasaan mereka.

 

“Kita sebenarnya sudah menolak kampanye dialogis, tapi pemerintah tidak mau mengubahnya juga,” ungkap Suruntal, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro cum Ketua Umum PDI Perjuangan jawa tengah.

 

Meski tidak juga. Golkar, sebagai partai penguasa pun ciut dihadapan kampanye dialogis. Syamsuri Haris (Kompas, 17 Mei 1997) mengungkapkan ketidak percayaan diri Golkar.

 

Kampanye dialogis tidak mampu menarik massa. Akhirnya partai penguasa itu tetap membutuhkan jasa 700 artis guna menghibur masyarakat.

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 menyatakan fungsi partai politik adalah sebagai salah satu wadah untuk mendidik kesadaran politik rakyat. Dan kala itu, mendidik kesadaran politik ditafsirkan sebagai adu congor, lempar batu, arak-arakan, dan lalala-yeyeye di panggung.

 

Tapi fenomena itu bukan tanpa sebab. Syamsudin Haris menganggap bahwa selama orde baru, sistem kepartaian membatasi interaksi masyarakat dengan partai. Masyarakat hanya terima jadi. Maka dengan ini, kampanye dialogis sulit diharapkan.

 

Ketakutan lain masih ada juga. OPP menganggap masyarakat masih bodoh, sehingga tak bakal nyambung diajak dialog. Tapi anggapan itu ditolak Djoko Susilo, wartawan Jawa Pos. Dia mengutuk pimpinan OPP yang menganggap masyarakat masih bodoh. Zaman berkembang, masyarakat sudah terdidik, dan tidak pantas membandingkan Pemilu 1997 dengan yang sudah-sudah, katanya.

 

Hal ini juga diamini Priyo Budi Sujak. Dalam esainya yang berjudul Jangan Hanya Masuk Kampus di Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Saluran Sebelas Edisi 02 tahun 1997, Priyo malah menyilakan kampus dimasuki OPP untuk kampanye. Menurutnya tak masalah. Kampanye harus dilakukan di manapun. “Kalau itu tidak dilakukan sama artinya kita akan membeli suatu barang yang kita sendiri nggak tahu seperti apa wujudnya dan kwalitasnya,” tulis Priyo.

 

Dan dia menganggap kalau kampanye dilakukan di suatu tempat, kampus katakanlah, tidak akan membuat mahasiswa terkotak-kotak dan terpecah menurut partainya. Anggapan mahasiswa (masyarakat Indonesia) belum mampu berbeda pendapat, menurut Priyo, “adalah picik.”

 

Tanpa kampanye, menurutnya, parpol bakal melakukan cara-cara tradisional. Seperti memasang publik figur sebagai upaya pendongkrak suara.

 

Wacana menjadikan kampus sebagai tempat kampanye parpol bukan barang baru. Majalah Forum Keadilan edisi 3 Juni 1996 melaporkan hal serupa. Bahkan bukan mahasiswa yang menginginkan kampus sebagai tempat kampanye parpol, melainkan Rektor!

 

Forum pun kaget menanggapi “perizinan” Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, itu. “Baru kali ini seorang rektor mempersilakan Organisasi Peserta Pemilu (OPP) melakukan kampanye di kampus,” tulis Forum.

 

Tapi Noeng Muhadji, Rektor UAD, tidak mengizinkan jika kampanye parpol sekadar jual omong. Kampanye harus dalam bentuk forum ilmiah.Tidak ada arak-arakan, adu congor, dan hal yang “biasa” terjadi dalam kampanye. Melainkan harus menggunakan konsep dan data. Hal ini disambut gembira oleh OPP sebagai sarana pendidikan politik.

 

Tidak hanya UAD, Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, pun sepakat akan kampanye OPP dalam kampus. UII bahkan telah melakukannya sejak Pemilu 1992. Pembantu Rektor I UII, Moh. Mahfud menceritakan kala itu kampanye dihadiri ketua PPP, Ismail Hasan; Ketua Umum PDI, Suryadi; dan Slamet Efendi dari golkar.

 

“Yang terjadi adalah kampanye ilmiah, bukan menjual kecap,” kata Mahfud.

 

Wacana ini tidak disetujui semua pihak. Rektor IKIP Yogyakarta, Djohar, misal. Dia menegaskan bahwa kampus harus tertutup dari kampanye. Menurutnya, jika ingin melakukan diskusi ilmiah dengan mengundang wakil OPP boleh saja.

 

“Tapi kampanye kan politik praktis. Kalau dilakukan, akan menghancurkan kampus sebagai lembaga ilmiah,” ujarnya.

 

Teguh Tri Riyanto, dalam rubrik yang sama dengan esai Priyo, sepakat akan hal itu. Esai yang kemudian ia juduli Orsospol Masuk Kampus malah bertolak belakang dengan argumen Priyo.

 

Menurut Teguh, kampus merupakan tempat belajar mahasiswa, bukan ajang tarung politik praktis. Justru kampus seharusnya menjadi juri politik yang netral.

 

Jika kampanye dilakukan, Teguh menganggap bakal ada pengtak-kotakan dalam kampus sesuai baju OPP. Hal ini malah akan memicu ketengangan antarmahasiswa maupun dosen, yang pada akhirnya akan merusak stabilitas kampus dalam proses belajar mengajar.

 

Tapi Teguh tidak mengajak sivitas akademika untuk apolitis. Melainkan mengajak agar turut menjaga marwah lembaga keilmuwan. Universitas bukanlah Lapangan Banteng. []

 

 

Irfan Sholeh Fauzi Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FKIP UNS 2016.

Exit mobile version