Oleh: Fera Safitri
HUJAN turun kelewat lebat. Hingga orang takkan mudah membedakan suara riuh penonton dengan suara derai hujan. Gambang, Bonang, Demung, Saron, dan kawan-kawannya berjejer di depan gedung Dr. Prakosa Universitas Sebelas Maret (UNS). Di balik alat-alat musik gamelan itu, mahasiswa dan mahasiswi berpakaian merah asyik memukuli mereka sesuai irama. Sedangkan di hadapan para pemain gamelan ini, seorang bapak dan anak sedang bersitegang.
“Apa? Kamu Bapakku?” tanya Joni Ngatiman pada Joyo Narimo seolah tak percaya. “Hah, tidak mungkin!” lanjutnya sembari mengelus jaran kepang yang pura-puranya adalah kudanya sendiri. Joyo Narimo yang juga merupakan bupati Panama ini terus berusaha meyakinkan Joni bahwa memang benar jika dialah ayahnya yang Joni cari selama ini.
Adegan-adegan tadi tentu saja hanyalah drama. Para pemerannya tak lain adalah anggota dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Badan Koordinasi Kesenian Tradisional (BKKT) UNS. Si anak, Joni Ngatiman diperankan oleh Khoirul Imam, mahasiswa Pendidikan Teknik Bangunan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) 2015 dan sang bapak, Joyo Narimo diperankan oleh Jeddyi Green Forest, teman satu program studi Imam,
BKKT tak sendirian dalam menggelar perhelatan ini. Ada Marching Band UNS dan Voca Erudita, UKM paduan Suara UNS yang berkolaborasi dengan BKKT pada Kamis malam itu (2/6). Penonton pun tak henti-hentinya bertepuk tangan menyaksikan pertunjukan mereka. Tapi tunggu. Mengapa mereka menggelar pertunjukan di emperan gedung Dr. Prakosa? Padahal tepat di belakang mereka telah berdiri panggung besar yang cukup megah. Begini ceritanya.
PANGGUNG megah tadi sebenarnya memang milik mereka. Panggung ini sengaja didirikan karena perhelatan besar yang digelar oleh tiga UKM tadi rencananya digelar meriah. Dan siapa pula yang tak tahu dengan perhelatan tahunan yang biasa disebut dengan Colaboration of Art (CoA) ini? Kehadiran CoA nampaknya selalu ditunggu oleh mahasiswa UNS, tentu karena acara ini gratis sekaligus menghibur. Terlebih di penghujung semester macam ini.
Pada pamflet yang disebarkan, acara seharusnya dimulai pukul 19.00 WIB. Namun sayang acara baru bisa dimulai sekira pukul 20.30 WIB. “Tadi kita nunggu Pak Darsono hadir dulu,” ujar Eriko Gunawan, salah satu panitia acara tersebut. Darsono yang dimaksudkan adalah Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan dan Alumni UNS.
Perhelatan ini pun diawali dengan kolaborasi antara BKKT, Voca Erudita, dan Marching Band di atas panggung megah yang sudah disiapkan di halaman gedung Dr. Prakosa UNS tersebut. Penonton terlihat antusias memperhatikan. Para awak media dan fotografer pun sibuk mengabadikan momen dengan kameranya masing-masing. Para mahasiswa yang pintar memanfaatkan peluang, juga sibuk berkeliling menjajakan minuman dan mi instan.
Tak sampai satu jam setelah acara resmi dibuka, yakni sekira pukul 21.20 WIB hujan turun. Sontak ratusan penonton yang berada di area tersebut lari kocar-kacir melindungi diri mereka dari hujan. Sebagian besar diantaranya memilih untuk pulang. Hujan semakin lebat dan acarapun terpaksa dihentikan sementara. Semua kontributor acara beserta segelintir penonton memilih berteduh di emperan gedung Dr. Prakoso.
“Kalo [menurut] kesepakatan kemarin sih misalnya hujan, kita tetap melanjutkan pertunjukan. Tapi kita enggak nyangka kalo hujannya selebat ini,” ujar Tunjung, pemeran Bu Banon, yang juga mahasiswi Fakutas Ekonomi dan Bisnis (FEB) ini. Wajahnya tampak cemas sekaligus kecewa. Pandangannya tak lepas dari hujan yang turun semakin lebat serta diiringi kilatan petir yang sesekali menyambar. Bahkan saat saya wawancarai pun pandangannya tetap tertuju pada hujan.
Sepakat dengan Tunjung, Erisa Zairina, mahasiswi Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNS mengaku, bahwa pihak acara CoA ini memang tidak memiliki plan B atau sebuah antisipasi seandainya hujan terjadi. Padahal perlu diingat lagi, bahwa pada CoA 2015 lalu perhelatan ini juga sempat terkendala hujan. “Sebenernya udah ada usulan untuk digelar di dalam gedung sih,” ujar Ilham Budi Irawan salah seorang anggota Marching Band yang terlibat pada acara tersebut. Ia mengaku bahwa usulan tersebut ditolak oleh sebagian besar kontributor yang terlibat. “Kalau di sini [halaman rektorat] kan lebih merakyat, lagipula acaranya juga gratis, jadi supaya bisa narik banyak penonton gitu,” ujar pemain alat musik Bariton tersebut.
Mengenai hal ini, saya lalu menemui Honggowongso, Ketua Panitia CoA saat itu. Namun ia tidak dapat diwawancarai karena kesibukannya dalam mengendalikan dan memikirkan langkah apa yang akan dilakukan oleh panitia untuk menyelamatkan acara ini.
Beberapa menit kemudian, ia meminta para kontributor acara untuk berkumpul dan berdoa bersama bagi kelancaran acara. “Jika 30 menit lagi hujan reda, kita lanjutkan lagi. Tapi seandainya masih hujan gerimis kita mesti lanjutkan walaupun dalam keadaan hujan,” ungkapnya di depan para kontributor. Yang ditujukan menganggukkan kepala tanda setuju.
Satu jam setelah Honggowongso mengungkapkan hal tadi, hujan tak kunjung reda. Tak sampai lima menit kemudian, panitia memutuskan untuk memindahkan acara tersebut di emperan gedung Dr. Prakosa. Para pemain menghadap ke utara, membelakangi panggung yang beberapa jam lalu menyangga mereka.
Pertunjukan kembali di mulai sekitar pukul 23.00 WIB. Para pejabat kampus sudah tidak menyaksikan. Penonton yang tadinya berjumlah ratusan, jauh berkurang menjadi seratusan. Duduk di emperan gedung Dr. Prakosa menyaksikan para penampil unjuk gigi. Tetap beraksi meski tak ada lagi panggung megah di bawah mereka.
Voca Erudita menyambung pergelaran dengan menyanyikan tiga buah lagu. Disusul alunan musik klenengan dari BKKT, kemudian munculah Joni Ngatiman menunggangi kuda merahnya. Tepuk tangan terdengar dari puluhan penonton yang tersisa. Kini mereka tak peduli lagi dengan hujan. Mereka lebih peduli pada Joni yang memeluk kekasihnya di akhir cerita.[]