Reporter: Fera Safitri, Penulis: Fera Safitri dan Satya Adhi
Adik kandung majalah Kentingan belum sempat dewasa. Bukan segan hidup. Maut keburu menjemput!
“SAYA adalah seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi UNS turut merasa senang dengan hadirnya media KENTINGAN dibumi UNS. Tapi itu lho kok jarak penerbitannya panjang sekali antar edisinya. Apa tidak sebaiknya kamu punya edisi sisipan semisal BPPM UGM (UKM Pers UGM-red) punya Suratkabar mahasiswa kalau engga salah namanya BULAKSUMUR…”
Surat tadi masuk ke redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan pada 1995. Pengirimnya seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi UNS. Ejaannya sama persis. Beberapa kata memang melenceng dari Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Usia LPM Kentingan waktu itu masih dua tahun. Baru menerbitkan satu majalah. Sekretariat pun belum punya.
“… Jadi kalau ada Koran Mahasiswa kan bisa menjembatani peristiwa dan moment-moment penting yang tidak sempat dimuat majalah mahasiswa karena selang antar edisinya yang panjang. Sekaligus lebih menghidupkan denyut dinamika mahasiswa di kampusnya…,” lanjutnya.
Di akhir surat tercantum “Nama dan alamat ada pada redaksi.” Satu-satunya surat pembaca yang tidak disertakan nama pengirimnya. Yang pasti, surat dan permintaannya sudah terjawab. Surat mahasiswa si Fakultas Ekonomi dijawab oleh pihak redaksi:
“Usul baik darimu tentang koran mahasiswa kami terima juga dari beberapa mahasiswa. Semoga dengan dimuatnya surat ini mewakili mereka. Dan sekarang ini tengah kami rintis…”
Korespondensi antara keduanya tercetak dalam Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Saluran Sebelas edisi 1. Bertarikh Agustus-September 1995. Diterbitkan sendiri oleh LPM Kentingan.
SEBENARNYA LPM Kentingan sudah memiliki produk cetak, yakni majalah Kentingan. Edisi pertama majalah ini terbit bulan Juli tahun 1994. Satu bulan setelah tiga media Indonesia – majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid politik DeTik – dicabut izin terbitnya. Kala itu rezim Soeharto memberlakukan izin ketat bagi penerbitan pers. Tiap media harus mengantongi Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Sebelumya bernama Surat Izin Terbit (SIT) yang masih harus dikompleti Surat Izin Cetak (SIC).
Bredel semena-mena yang dilakukan Orde Baru justru menyulut kemarahan para wartawan, pengelola media, pengamat, dan pembaca. Di momentum yang tepat ini majalah Kentingan terbit dengan judul Suksesi 1998 Suatu Perspektif.
Lewat berbagai masukan, LPM Kentingan lantas menambah terbitan. Sebuah SKM diterbitkan untuk menampung peristiwa dan isu hangat saat itu. Nama Saluran Sebelas dipilih. “SALURAN menyiratkan keinginan agar media yang kami hadirkan ini mampu menampung aspirasi mahasiswa UNS dan menyalurkannya disamping memperkaya wahana pendenyut idealisme mahasiswa. Dan tentu diharapkan mampu mengemban fungsi Pers sebagai media informasi edukasi,” tertulis di rubrik Gerendel edisi I. “SEBELAS menyiratkan makna almamater institusi dimana kita menempa diri saat ini sebagai bekal pengabdian kelak di masyarakat.”
Saluran Sebelas edisi pertama ini terbit dengan format tabloid 12 halaman. Gerendel adalah satu dari sebelas rubrik yang ada. Kulit muka sendiri mengangkat tema Setelah 50 Tahun Indonesia Merdeka: Membangun Semangat Kerakyatan. Gaya bahasanya sangat meng-esai.
Pemimpin Redaksi LPM Kentingan kala itu, Ulin Ni’am Yusron mengatakan, SKM mereka pilih karena proses penggarapannya yang bakal lebih singkat dan yang pasti, lebih murah. “Dengan begitu, kan dana dari rektorat kami harap bisa teratur dan bisa dialokasikan untuk liputan dan percetakan,” ujarnya saat saya wawancarai via Skype pada 10 Juni 2016. Dulunya ia mahasiswa Fakultas Pertanian. Angkatan 1993. Terakhir, dia sempat mendirikan Aviyasa Consulting, sebuah badan penyelidik swasta di Jakarta.
Persoalan dana memang sejak awal sudah jadi kendala bagi mereka. Pasalnya, kala itu pihak rektorat UNS hanya bersedia memberikan dana untuk LPM Kentingan jika produk yang mereka buat sudah cetak. ”Bayangin! mahasiswa enggak punya apa-apa harus duitin dulu, selesai cetak ada bukti sudah terbit baru dikasih,” ujar Imron Rosyid, salah satu wartawan LPM Kentingan waktu itu, ketika saya temui di kediamannya 28 Mei silam. Ia dulunya seorang mahasiswa Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) UNS angkatan 1993.
Status sebagai pers mahasiswa memang membuat LPM Kentingan tak harus mengantongi SIUPP. Namun, mereka sangat menggantungkan dana pers dari pihak universitas. Saluran Sebelas sendiri hanya dua kali memuat iklan komersial. Sekitar seperenam halaman hitam putih dan seperdelapan halaman berwarna di edisi 2. Maka, pencabutan dana pers mahasiswa bisa dikatakan sebagai kebijakan yang sejenis dengan pencabutan SIUPP pers umum.
JAKARTA geger. Ketika Partai Demokrasi Indonesia (PDI) kubu Soerjadi melaksanakan Kongres di Medan pada Februari 1996, PDI kubu Megawati Soekarnoputri melawan dengan aksi mimbar bebas di Jakarta. Tepatnya di kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat tanggal 27 Juli 1996.
Ratusan massa hadir dalam aksi tersebut. Ada kelompok-kelompok ormas, aktivis mahasiswa, dan tentunya simpatisan Mega. Kekuatan massa semacam itu jarang sekali terjadi di Orde Baru. Pemerintah lantas tak tinggal diam.
Kekuatan militer dikerahkan untuk menghantam aksi damai PDI Mega. Menurut Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), sejumlah 5 orang tewas, korban luka-luka militer dan sipil 149 orang, korban hilang 23 orang. Sementara kerugian ditaksir senilai Rp 100 miliar. Yang masih hidup dan segar bugar tak lantas beruntung. Mereka dicap “kiri” dan dianggap merongrong Pancasila.
Gerakan Mahasiswa Pasca 27 Juli, Apa Kabar? menjadi judul utama SKM Saluran Sebelas edisi 2. Terbit satu tahun pasca insiden Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli). Jadwal terbit yang sangat molor sempat diprotes dalam salah satu surat pembaca. “Edisi berikutnya kok tidak terbit-terbit, sampai saya berpikir apakah SS atau Saluran Sebelas itu juga berarti Sebelas Bulan sekali terbit …” tulis Dede dan Priyo, mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS. Dalam edisi ini pula, pertama kali Saluran Sebelas memakai slogan Mengungkap Fakta Menebar Makna.
Dalam tajuknya Saluran Sebelas merasa penting mengangkat tema gerakan mahasiswa pasca Kudatuli. Sebab “… faktanya sudah beberapa bulan ini aktivitas politik mahasiswa sedikit menurun. Gejala ini terlihat dari banyaknya organisasi altenatif mahasiswa yang dulu menjamur, kini tidak kelihatan ‘batang hidungnya’.”
“Kita pilih [isu] itu karena menurut kita ya, mahasiswa harus tahu dampak 27 juli itu terhadap gerakan mahasiswa, tujuannya itu,” ujar Ulin. Dari total sebelas rubrik di SKM SS edisi kedua ini, ada delapan tulisan di dalamnya yang menyoalkan gerakan mahasiswa dan peristiwa Kudatuli. Beberapa narasumber mulai dari aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Solo kala itu, anggota DPRD Solo, pihak birokrasi UNS, hingga anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), turut ambil bagian dalam tulisan-tulisan yang ada di Saluran Sebelas edisi kedua ini.
Beberapa kalangan lantas menganggap LPM Kentingan terlalu pro PDI. Selain itu, tuduhan lain yang dialamatkan adalah: LPM Kentingan terlalu condong ke golongan “kiri.”
Ihwal tuduhan yang kedua, LPM Kentingan menanggapinya dengan santai. Majalah Kentingan edisi I misalnya, memuat lelucon sindiran dalam rubrik Unikdot. Judulnya Kiri Semua. Penulisnya Budiyanto.
Alkisah sebuah rumah kontrakan yang dihuni mahasiwa, tiga sandal jepit yang terparkir di depan pintu tidak ada yang sebelah kanan. Alias, kiri semua. Lantas seorang dari mereka berkomentar, “Kita khan kelompok mahasiswa yang concern terhadap masalah kerakyatan.” Unikdot diakhiri dengan ungkapan, “Oalah maksudnya, kelompok mahasiswa sekarang khan dicap “kekiri-kirian”, maka biar lengkap yang pakai sandal kiri semua. Siapa Menyusul?”
Kedua tuduhan ini lantas digunakan pihak rektorat untuk mengentikan dana pers bagai Saluran Sebelas. Ihwal pembredelan melalui pencabutan dana pers saya rangkum dari tiga narasumber:
Pada awal tahun 1998, Imron Rosyid meminta dana yang biasanya mereka dapatkan usai Saluran Sebelas dicetak. Permintaan itu ditolak oleh pihak kemahasiswaan UNS atau yang sering disebut MAWA UNS. Selang beberapa hari setelahnya, Imron pun memutuskan untuk menemui Rektor UNS kala itu, Haris Mudjiman.
”Rektor waktu itu bilang, kalo LPM kentingan itu ya Majalah Kentingan, bukan Saluran Sebelas. Intinya rektor saat itu tidak mengakui SKM ini,” jelasnya. “Masa sih cuma gara-gara nama?” Imron berhenti sebentar menghisap rokok yang ada di tangannya lalu menjawab sendiri retorika yang ia lontarkan. “Tapi kalo gitu, kenapa yang edisi pertama dikasih? Ya kan?” ungkapnya.
Kisah lain saya dapatkan dari Ulin. Ia menceritakan bahwa ia sempat menemui Pembantu Rektor (PR) III UNS. “Secara eksplisit PR III bilang ke kita terlalu kiri, dan pro PDI. Semua yang keliatan pro PDI dianggap anti pemerintah.”
Kalau bukan karena ke-ngeyelan para anggotanya, Saluran Sebelas sudah pasti berhenti di edisi kedua.
Hal ini saya ketahui ketika menemui Ichwan Prasetyo. Jurnalis Solopos yang menjabat Pemimpin Redaksi LPM Kentingan beberapa bulan pasca penghentian dana pers terjadi. “Walaupun kita tahu rektorat enggak bakal kasih duit, tapi kita tetep garap itu [Saluran Sebelas edisi tiga],” katanya. Keputusan ini ia ambil tiga bulan usai pemberhentian dana pers dari rektorat. Dana untuk edisi ketiga sendiri mereka dapatkan dari keuntungan bazar buku dan uang hasil iklan.
“Lha orang [LPM] Kentingan itu gila semua og,” ujarnya sembari tertawa. “Setelah dana cukup, kita menerbitkan lagi SKM SS meskipun kertas yang digunakan lebih jelek [dari edisi sebelumnya] dan jumlah yang dicetak sangat terbatas,” lanjutnya. “Tapi pas pihak rektorat tahu kalo SKM SS terbit lagi, PR III, dia yang waktu itu juga sebagai pembina [LPM Kentingan] menyuruh kita buat berhenti. Nanti LPM nya yang dibubarkan sama rektor, katanya gitu.” PR III yang dimaksud adalah Suparnadi, yang menjabat sekitar tahun 1995-1999.
“Kita tahu [perintah untuk menghentikan SKM SS] itu, kita kan kesel ya, terus kita jadi sering turun ke jalan. Nyebarin selebaran yang isinya agitasi buat masyarakat. Dulu tuntutan kita supaya Presiden [Soeharto] turun,” jelas Ichwan sembari membolak-balikkan SKM SS edisi kedua yang saya tunjukan padanya. “Biasa, dulu kan masa-masa panas,” ia tertawa.
UPAYA pencarian terhadap Saluran Sebelas edisi ketiga saya lakukan. Pasalnya, pengarsipan LPM Kentingan yang sangat buruk menyebabkan edisi ini hilang. Dari alumni-alumni yang saya hubungi, tidak ada yang memiliki edisi ini. Perpustakaan UNS juga tidak menyimpan. Pencarian saya mandek ketika BPPM Balairung UGM – pers mahasiswa yang terkenal paling komplet arsipnya – juga tidak menemui Saluran Sebelas edisi 3. Mungkin karena dicetak terbatas, Saluran Sebelas edisi akhir ini tak sampai di tangan LPM universitas lain.
Hilangnya Saluran Sebelas edisi 3 sekaligus menandai berakhirnya kiprah SKM si adik majalah Kentingan. Inkonsistensi yang menjadi “tumor” dalam tubuh pers mahasiswa, tiba-tiba kambuh. Kali ini terjadi di tubuh LPM Kentingan. Selain itu, persaingan industri media yang ketat membuat pers mahasiswa tak lagi punya daya. Ichwan, Ulin, Imron, dan awak LPM Kentingan yang lain tampaknya sudah lebih dulu merelakan kematian Saluran Sebelas. Ironis memang, karena “tumor” tersebut kambuh kala Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998. Saat keran kebebasan berpendapat mulai dibuka.
Ucapan bernada penyesalan sekaligus harapan sempat keluar dari mulut Imron. “Kalo aja dulu SKM SS [Saluran Sebelas] lahirnya di zaman bebas kayak gini, mungkin ceritanya jadi lain ya.” []