Site icon Saluran Sebelas

Idol, Penting?

Maraknya kembali pagelaran musik festival bertajuk Indonesian Idol setelah sempat mengalami masa vakum beberapa bulan kembali menghentak publik nasional. Apalagi, banyak yang menge-tweet dan menyatakan dalam kicauannya bahwa tahun ini Indonesian Idol dianggap berbeda dari tahun-tahun sebelumnya bahkan sempat menjadi Worldwide Trending Topic. Salah satu beranggapan bahwa hal ini dikarenakan para kontestan yang lolos sampai babak terakhir memiliki kualitas yang lebih daripada tahun sebelum 2012. Entah karena juri yang gonta-ganti setiap tahun dengan subjektivitas penilaian mereka yang berlainan atau apa? Yah, entah. Sebenarnya pengantar di atas tidak penting juga, karena permasalahan sebenarnya adalah apakah kita (Indonesia) butuh seorang idola? Apakah perlu mengeksplotasi secara berlebihan tentang kehidupan si idol itu yang terkadang juga semacam melebih-lebihkan?

American Idol tercatat adalah festival Idol pertama yang ada di dunia dengan menerbitkan seorang Kelly Clarkson sebagai juara pada tahun 2002 silam. Kualitasnya tak diragukan lagi dengan berkali-kali meraih penghargaan bergengsi semacam Grammy. Mulai dari itu, American Idol kemudian berlanjut di tahun-tahun berikutnya, juga menjamur di negara-negara lain dengan embel-embel Idol. Indonesia entah latah atau bagaimana, banyak pihak yang mulai berlomba menggelar kompetisi semacamnya. Popstars dan Akademi Fantasi Indosiar (AFI) tahun 2003, dan Indonesian Idol tahun 2004 yang selain sebagai perlombaan juga sebagai reality show yang menampilkan tentang kehidupan pribadi dari para kontestan. Namun berbeda dengan negara lain, para jawara festival Indonesia, entah apapun itu, sekarang seperti hilang. Mereka eksis di kancah hiburan hanya sekitar kurang lebih 1 tahun pasca kemenangan mereka di masing-masing ajang, berbeda dengan Krisdayanti, artis Indonesia yang juga naik daun setelah memenangi kontes Asia Bagus tahun 1992 tapi masih populer sampai tahun 2000-an. Apakah kualitas mereka dirasa kurang? Lalu bagaimana jika para jawara tersebut diadu dengan jawara dari negara lain? Apakah Indonesia benar-benar butuh seorang idola musik untuk bisa mengangkat nama bangsa? Sangat subjektif bila beranggapan tentang suka-tidak suka bagi sebuah acara hiburan.

Menilik dari sisi psikologi, ekonomi, komunikasi, ada semacam tali merah yang menunjukkan taraf kebutuhan Indonesia di masalah idol ini. Pertama dari sisi psikologi, masyarakat sangatlah butuh semacam hiburan sebagai selingan kala berbagai masalah kerusuhan dan korupsi melanda. Yang disayangkan adalah pengeksploitasian kehidupan si idola. Apakah tidak melebihkan jika setiap hari kita melihat artis yang sama? Televisi malah berfungsi sebagai situs resmi dari si artis. Apakah tidak cukup dengan adanya jaringan internet semacam blog pribadi sebagai situs resmi? Malah disebutkan dalam kamus Oxford Dictionaries bahwa idol adalah an image or representation of a god used as an object of worship. Dalam hal positif, dapat diartikan bahwa idola bisa menjadi sumber inspirasi, motivasi, semacam sebuah target untuk bisa menjadi seperti sosok yang di-idola-kan, atau hanya sebatas hiburan saat kita merasa suntuk atau bosan. Tapi hal negatifnya adalah saat kita terlalu meng-idola-kan idola kita, itu akan menjurus ke obses yang buruk. Lebih-lebih malah men-dewa-kan si idola. Itu sangat menyimpang.

Di lain sisi, ekonomi dan komunikasi juga berlangsung di ajang ini. Stasiun televisi lihai sekali mengarahkan masyarakat kita untuk beralih dari satu masalah ke masalah lain. Di samping masyarakat lupa tentang korupsi, kerusuhan tawuran, bbm naik, dengan adanya festival semacam ini kita seperti dialihkan dan tak bisa dipungkiri dengan mudahnya kita teralih, terhibur malah. Melihat adanya potensi ekonomi yang entah berapa nominalnya, pihak stasiun mulai mengemas festival tersebut dengan ide kreatif sedemikan rupa sehingga pasar selalu merasa terpuaskan dan keuntungan akan terus diraih. Cara pemilihan misalnya. Terkadang adil jika si idola dipilih melalui vote sms yang semua orang pasti bisa, dan hasil dari vote sms itu semacam kepastian dari indikasi pilihan seluruh rakyat. Tapi biaya dari vote sms itu sudah menjadi sekian puluh persen bagian dari pendanaan perusahaan terkait. Belum lagi royalti dari pihak-pihak sponsor mentereng. Wow!

Kembali ke sosok si idola. Seharusnya ketika salah satu idola itu keluar sebagai pemenang, si idola mendapatkan keuntungan yang multi profit. Berkembang dari beragam kritikan dan motivasi dorongan dari juri festival, popularitas, pasokan dana, juga kontrak kerja. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa keeksisannya tidak bertahan lama seperti jawara negeri lain macam Kelly Clarkson? Hal itu kembali ke kualitas acara kita atau kreativitas kita yang agak tertinggal? Faktor keberuntungan, mungkin. Bukankah ajang nasional menjadi semacam batu pijakan untuk beranjak ke kancah yang lebih tinggi? Ataukah target si juara hanya pasar lokal? Minim sekali.

Terlepas dari itu semua, butuh-­nggak butuh, penting-nggak penting, kembali ke subjektivitas kita masing-masing dalam menyikapi permasalahan ini. Membanggakan memang ketika kita bisa melihat kemegahan panggung pementasan, tetapi menyedihkan juga jika kita merasa seperti ditipu. Sekian dan terimakasih.

*oleh Riki Listianto R, mahasiswa teknik sipil ngaco

Exit mobile version