Site icon Saluran Sebelas

Heroik

 

Oleh: Fatih Abdulbari

 

/1/

 

Di negeri Spanyol, hidup seorang kesatria yang luhur dengan jiwa petualang yang mahaliar, Namanya Don Quixote. Karena ia bukan hidup di Eropa abad pertengahan –tanpa perang, dan jika tidak ada perang, sudah pasti mustahil ada gelar kesatria– maka kisah ini mestinya menyenangkan untuk digunjingkan.

 

Don Quixote kita ini memulai perjalanan sucinya dengan berbekal baju besi, pedang peninggalan leluhurnya, serta seekor kuda tua. Demi membela kebenaran dan keadilan bagi mereka yang menurutnya tertindas, Don Quixote rela meninggalkan desa kecilnya yang nyaman. Dalam petualanganya, sang Don percaya bahwa ia melawan penyihir, raksasa, serta musuh-musuh lain yang jahat dan kuatnya bukan main. Ia juga menjalin cinta dengan dengan seorang gadis yang ia gelari Dulcenia of Toboso (kekasih hati dari Toboso). Cerita yang sempurna bagi seorang kesatria.

 

Tapi sayang kelewat sayang, Don Quixote kita setengah gila. Dia pengkhayal tingkat tinggi.

 

Sejak kecil, ia banyak membacai kisah-kisah roman kesatria abad pertengahan. Hal inilah yang jadi pemasok utama kegilaannya dan terobsesi setengah mati pada jalan hidup kesatria. Ia terlambat beberapa ratus tahun untuk memulai perjalanan sebagai seorang kesatria di mana tak ada lagi yang butuh kesatria ala Eropa abad pertengahan.

 

Musuh, kekasih, dan segala hal dalam petualangannya tentu saja imajiner. Alih-alih raksasa, penyihir, dan musuh lainnya, yang dilawan Don Quixote sebenarnya adalah kincir angin, domba-domba, tukang potong rambut, dan seekor singa jinak untuk persembahan bagi seorang raja. Kekasih sang Don sebenarnya hanya seorang gadis pelacur miskin yang jelek, itupun belum tentu benar mau dengan Don Quixote. Perih rasanya menyadari hal-hal ini.

 

Terasa heroik tentu, saat sang Don bisa mengalahkan musuh-musuh imajinernya atau menggodai kekasih hati wanita dari Tobosso itu. Tetapi bagi orang sekitarnya, sang Don adalah contoh bagi kekonyolan yang hakiki.

 

Don Quixote kita ini memang juga imajiner (1605 dan 1615). Ia lahir dari buah pikir Miguel de Cervantes. Memang sudah maksud Cervantes menuliskan kisah satir tentang keadaan Spanyol yang kala itu sedang mengalami kemerosotan. Melalui Don Quixote, paling tidak Cervantes menyindir habis-habisan semua pahlawan kesiangan yang ada di muka bumi. Jiwa-jiwa yang berpikir terlampau terlambat dari zamannya sendiri.

 

 

/2/

 

Konon, kisah ditetapkannya beberapa aktivis mahasiswa sebagai tersangka menimbulkan gelombang heroisme baru dalam wacana pergerakan mahasiswa hari ini. Di waktu ketika power rangers sudah tidak laku, kisah heroik semacam ini adalah epik baru yang dirindu oleh para pejuang alias kesatria kampus. Lalu, seluruh kejadian dibaliknya pun dianggap mampus.

 

Baca:

“Presiden BEM UNS Resmi Tersangka”

 “Wildan Belum Ditahan”

“Aksi di Depan Tuhan”

 

Terlepas dari siapa pemeran protagonis dan antagonis dalam kisah ini, heroisme yang dilahirkan justru menurutku malah lebih mengkhawatirkan. Jangan-jangan hanya kita, mahasiswa saja, yang menceritakan kejadian ini dengan heroik, diluar kalangan mahasiswa jangan-jangan kisah ini justru diceritakan dengan tawa konyol.

 

Hmm, mirip-mirip kisah Don Quixote gitu lah ya.

 

Mirip piye to, Mas? Kalo mereka enggak mau menerima perjuangan kami ya, Tuhan tahulah betapa kami mencintai mereka.

 

Lah, kan cuma mirip.

 

Aku hanya takut kalau pergerakan mahasiswa ternyata terlalu lama tidur dan terbangun kelewat siang. Aku membayangkan pergerakan mahasiswa yang tidur lelap dibuai mimpi heroik yang sudah basi sejak tahun 1965. Dan begitu bangun, ia tidak sadar bahwa sudah tidak lagi hidup dalam relung zaman yang sudah terlewat lama. Dan, hei! Kita tidak butuh Don Quixote baru, apalagi kalau berjamaah.

 

Amini saja, Don Quixote sepanjang zaman akan terus menjadi kisah yang diceritakan dengan tawa satir. Dan, jangan-jangan, kisah heroiknya pergerakan mahasiswa adalah kisah satir baru yang menunggu giliran untuk diceritakan. Piye jal?[]

 

Baca: “Sang Kapten dan Pak Presiden”

 

Fatih Abdulbari

Mahasiswa Ilmu Sejarah FIB, UNS.

Exit mobile version