Site icon Saluran Sebelas

Belajar dari Candide

Oleh : R.Syeh Adni

 

CANDIDE berbicara kepada temannya, Martin. “Percayakah anda, bahwa manusia selalu berbunuh-bunuhan sejak dulu dan sekarang, bahwa mereka merupakan pendusta, pengkhianat, tak tahu berterimakasih, rampok, idiot, maling, bajingan, rakus, pemabuk, pelit, pencemburu, ambisius, berpikiran buas, pemfitnah, bejat moral, fanatik, munafik dan goblok?’’

 

“Percayakah anda,” ujar Martin, “jika elang selalu makan anak burung kalau berhasil menemukannya?”

 

“Tentu saja,” jawab Candide yakin.

 

“Nah, jika elang selalu punya watak yang sama, mengapa anda kira manusia akan mengubah wataknya pula?” kata Martin.

 

Bila kalian marah dan terkejut akan pendapat Candide tentang manusia, sama halnya dengan saya. Namun bila kita menyelami kembali kehidupan yang dialami oleh Candide, maka tak heran bila dia berpendapat begitu.

 

Candide adalah seorang laki-laki yang percaya akan perkataan gurunya, Pangloss, bahwa semua yang terjadi di dunia ini selalu yang terbaik. Dia baru mengerti apa yang diajarkan gurunya bertolakbelakang dari kenyataan, saat ia diusir oleh Sang Baroness karena mencintai sang anak, Putri Cunegonde. Candide melihat dunia yang dipenuhi kejahatan, peperangan, bencana, dan musibah. Namun begitu ia masih meyakini ucapan gurunya, bahwa semua yang terjadi akan berakhir baik.

 

Semuanya berubah saat mengetahui bahwa kerajaan kekasih yang dicintainya hancur, dan kekasihnya dikabarkan telah tewas dengan cara yang kejam. Karena peperangan inilah yang membuat laki-laki optimis ini mengelilingi dunia untuk menemukan sisa-sisa kebahagian. Namun yang dia temukan adalah kesialan dan musibah yang selalu menimpanya. Dalam perjalanannya, Candide sampai ke sebuah koloni Belanda. Di situ ia bertemu seorang negro yang cuma bertangan satu, berkaki satu, dan berbaju compang-camping. Budak itu menjelaskan, “jika kami bekerja di pabrik gula dan jari kami tersangkut mesin, mereka akan memotong tangan kami dan kalau kami mencoba kabur maka mereka akan memotong kaki kami, itu harga gula yang tuan makan di Eropa.”

 

Kenyataan bahwa dunia tak selalu yang terbaik, menempatkan Candide menjadi sosok pesimistis. Setelah mengalami segala macam kejahatan yang dilakukan segala macam manusia, dia akhirnya menetap di Turki dan menjadi petani bersama sang guru, Pangloss.

 

Itu hanya sekelumit kisah yang ditulis oleh seorang sastrawan paling berpengaruh dalam Revolusi Prancis, François-Marie Arouet, atau lebih dikenal sebagai Voltaire. Dialah pencipta sosok Candide yang fenomenal pada tahun 1759. Jangan salahkan Voltaire bila dia menulis buku yang se-pesismistis itu terhadap manusia. Dia melihat sendiri bagaimana negerinya dipimpin raja yang absolut, kejam, rakus, bengis dan pembunuh rakyatnya sendiri. Dengan tulisan  satir inilah dia ingin menyindir sang raja,   hingga akhirnya ia harus mendekam di sisi gelap penjara Bastille.

 

Tulisan-tulisannya dianggap Raja Prancis, sebagai penghancur kerajaannya yang absolut. Namun dia masih sempat berterimakasih akan sang raja yang telah menjebloskannya ke dalam penjara, karena telah memberikan penginapan gratis.

 

Mengherankan. Zaman itu merupakan zaman keoptimisan. Bangsa-bangsa
Eropa mempertaruhkan nyawanya untuk menemukan dunia baru yang menyimpan banyak kisah-kisah menakjubkan, yang tak lebih tentang cerita kekayaan yang melimpah di dunia baru. Dengan semangat gold, glory dan gospel mereka melakukan perjalanan yang menakutkan dan mengerikan, untuk menemukan dunia baru yang bisa mereka taklukan dan ambil kekayaannya.

 

Bahkan meski bertaruh nyawa sekalipun, mereka masih percaya bahwa dunia baru akan memberikan hal yang terbaik bagi mereka. Namun dalam keberjalanannya optimisme ini menjadi sebuah ambisi yang menempatkan Eropa sebagai bangsa imprealis, yang datang untuk menaklukan, membunuh, dan mendapatkan kekayaan sebanyak-banyaknya dari dunia baru yang mereka temukan. Meskipun mendapat kekayaan yang berlimpah dari dunia baru yang mereka taklukan, mereka tetap saja rakus, tak tahu berterima kasih akan pemberian dunia baru kepada mereka.

 

Selain untuk menyindir sang raja dan para imprealis Eropa, Candide juga merupakan tulisan yang mengungkapkan ketidaksetujuan Voltaire, dengan filosofi yang dianut Gottfried Leibniz dan Alexander Pope, yang berpendapat bahwa dunia yang diciptakan Tuhan adalah dunia yang terbaik. Dan Candide yang mengalami musibah dan kemalangan yang bertubi-tubi, menempatkan dia sebagai orang yang tak percaya bahwa dunia ini merupakan dunia yang terbaik. Secara tidak langsung Voltaire berpendapat bahwa dunia ini adalah dunia yang dystopia. Ia mempercayai bahwa Tuhan menciptakan dunia, namun ia berpendapat bahwa kekejaman manusia telah membuat dunia ini menjadi tidak sempurna.

 

Manusia Indonesia

 

Lalu bagaimana dengan manusia Indonesia? Seorang lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS), dengan berani menetapkan bagaimana manusia Indonesia itu. Yang menarik, ia menetapkan karakteristik manusia Indonesia saat para pakar sosiologi dan antropologi kesulitan menentukan ciri-ciri manusia Indonesia.

 

Namun nampaknya kesulitan itu tak dialami Mochtar Lubis, seorang wartawan dan sastrawan. Perjalanan hidupnya panjang. Mulai dari masa kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, perjuangan merebut kemerdekaan dan mempertahankannya, hingga berdirinya Orde Baru. Pertemuanya dengan berbagai lapisan masyarakat Indonesia, dan berhadapan dengan kekuatan dan kekuasaan yang besar, membuat ia mengungkapkan nada-nada sinis terhadap ciri-ciri manusia Indonesia.

 

Munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, jiwa feodalistik, percaya takhayul, korupsi dan penindas. Itu hanyalah sekelumit ciri-ciri yang dimiliki manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis. Bila ingin mengetahui semua ciri manusia Indonesia, mungkin anda harus membaca bukunya, Manusia Indonesia (1978).

 

Jangan marah dan salahkan Mochtar akan pendapatnya tentang manusia Indonesia, kekecewaannya terhadap lingkungan masyarakat, tatanan politik, serta kekuasaan dalam tiga zaman kehidupan bangsa yang dialaminya – kolonial Belanda, ekspansi Jepang, era  kemerdekaan.

 

Malaikat Pun Pesimis

 

Bukan salah mereka – Voltaire dan Mochtar Lubis – bila memiliki pendapat sinis terhadap manusia. Pertemuan mereka dengan berbagai latar belakang manusia, menempatkan mereka sebagai seorang pengkritik utama manusia itu sendiri. Sifat binatang yang masih terdapat di diri manusia, membuat mereka berani mengungkapkan ciri-ciri keburukan manusia.

 

Bukankah agama dan rasul diturunkan untuk merubah sifat buruk manusia, dan merubahnya menjadi manusia yang sempurna?

 

Tak ada salahnya pesimis terhadap manusia. Bukankah makhluk yang paling setia terhadap Tuhan, pernah mempertanyakan kenapa Tuhan harus menciptakan manusia.

 

Mereka (malaikat) berkata “mengapa engkau hendak menjadikan manusia (khalifah) di bumi itu, orang yang akan membuat kerusakan padanya, dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?”

 

Tuhan berfirman, “sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”[]


 

R. Syeh Adni. Seseorang yang suka menghabiskan waktu untuk membaca. Ingin menjadi penulis yang baik dan ingin menjadikan tulisannya bermanfaat bagi sesama. Surel: rasy_ad@yahoo.co.id.

Exit mobile version