Site icon Saluran Sebelas

Bawa Mati Mimpi

Pukul dua dini hari itu seperti waktu lazimnya aku dan Eka yang berperilaku seumpama kalong, tidak gemar tertidur malam. Terlebih malam itu rintik gerimis bertukar menjadi guyuran hujan di bawah langit Solo, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Menambah alasan kami untuk semakin betah memendam diri pada kursi pojok burjo yang terserang hawa sejuk dua kali lipat dari biasanya.

Eka duduk kalem sambil mengakrabkan diri dengan layar komputer jinjingnya. Meski begitu, rautnya jauh dari kata tenang. Jemari kanan dan kirinya saling berkompetisi dalam kategori menekan tuts terbanyak, bahkan jemariku saja dibuat minder dengan gerak tangan Eka yang lihai menari di atas keyboard. Tentu aku tidak bisa banyak membantu Eka dalam menyelesaikan makalah dengan tenggat mepetnya, selain mentraktir anak itu seporsi nasi ayam rendang kegemarannya. Ketika bersamanya, aku lebih memilih bergaul dengan buku setebal dua setengah senti di genggamanku.

Seperti halnya sebuah proyektor yang sedang menerjemahkan adegan dalam novel, imajinasiku berjalan seperti itu. Namun, pada halaman ke dua ratus tujuh, pikiranku mengalami distraksi di tengah pertunjukan kisah dalam buku. Mataku berhenti bergulir pada jejeran kalimat dalam lembar buku yang terselip di jariku. Ini semua berkat sesuatu yang berhasil membajak dimensi lain dalam kepalaku.

Aku tidak tahu berapa lama aku menikmati lamunanku. Tampak Eka sudah mendorong laptop menjauh dari jangkauannya dan meregangkan otot. Mungkin hingga semangkuk ketan hitam milikku yang masih tersisa setengah itu menangis meraung sebab ku dustai dengan iming-iming ‘dua lembar lagi lalu akan ku sambung makan nanti’.

“Bukunya terbang, tuh, nggak baca, sih,” celetuk Eka terdengar asal. Aku mengerjap dan mengeja huruf konsonan, ‘H’ dengan spontan. Buyarlah duniaku yang ku konstruksi sedari setengah jam lalu. “Sebagus itukah buku karangan Leila S. Chudori yang kamu baca itu?”

Bukannya langsung menjawab, aku hanya terkekeh samar dan malah mengeja ulang judul novel itu dalam hati, ‘Nadira’. Aku menggeleng, “Serumit itu alur kisah tokoh utamanya. Justru buku-buku dengan kerumitan ini yang buatku terjeda untuk menamatkannya.” Aku melirik Eka setelah menjawab.

“Memangnya terjeda buat mikir apa, to?”

“Berandai-andai gimana jika tokoh utamanya punya pemikiran sederhana dan hidup apa adanya? Bagaimana kalau Leila tidak menggantung pembaca dengan beberapa plotnya yang sengaja dijadikan misteri? Aku terkadang suka berkhayal bagaimana jadinya jika aku adalah penulis yang menciptakan buku yang ku baca. Aku juga suka berandai-andai bagaimana caraku membuat karangan yang bisa lebih membekas di ingatan pembaca jauh dari buku-buku yang pernah ku baca.”

Semua itu memojokkan pikiranku dalam sebuah ujung yang arahnya rancu, tentang sebuah sesal yang telah lama terpenggal dalam anganku. Ia adalah cita-cita yang sukar direlakan.

Itu bermula ketika umurku menyentuh angka dua belas tahun, tujuh bulan. Aku hanyalah anak lugu yang masih berpikiran dangkal akan masa depan. Aku masih mencari di mana jati diriku bisa tumbuh seperti benih yang subur bila ditanam pada jenis tanah yang sesuai, singkatnya memilih cita-cita. Aku masih terombang-ambing, terlebih waktu itu panduanku adalah novel yang aku baca. 

Lucu nian ketika aku gemar meminjam buku seri Sherlock Holmes dan segera terpikir bagiku untuk menjadi detektif. Atau saat ayah membelikanku sebuah buku autobiografi seorang pilot wanita bernama Monika Anggreini dari maskapai penerbangan Air Asia saat perjalanan bisnisnya ke luar pulau, maka dengan mudahnya aku langsung mendambakan menjadi sepertinya. Juga saat aku tersentuh oleh perjuangan Bu Muslimah dan Pak Harfan dalam mengupayakan pendidikan anak di Desa Gantung dalam novel Laskar Pelangi, aku langsung bertekad menjadi seorang guru meski bakatku memberi pengajaran pada orang lain masih belum terdeteksi hilalnya. Cita-citaku selalu berganti sejalan dengan pengaruh tokoh dalam buku yang membuatku terpukau dan terbayang selama dua hari tiga malam. 

Namun, selama aku menjadi siswa sekolah menengah pertama, pertanyaan mengenai apa cita-citaku selalu ku jawab dengan berbangga diri, “Sastrawan!”. Terlepas dari guru Bahasa Indonesiaku yang gemar mengoreksi bahwa sepatutnya aku menyebutnya dengan ‘sastrawati’. Aku sendiri bahkan sudah lupa apa yang memicu kepercayaan diriku itu.

Tetapi kemudian kepercayaan diriku berubah sejak hari itu. Aku ingat betul malam itu cubitan pedas Ibu berkali-kali mendarat di pangkal betisku karena aku tak mahir dalam materi anak sekolah dasar—porogapit. Perkara itu saja sudah membuatku jengkel dan terus berpikir keras di atas lembaran buku tugas yang seperempatnya basah oleh air mataku. 

Bapak yang senggang dan pikirku sedang usil, datang dan duduk di tepi kasurku di sebelah Ibu yang sedang bersedekap mengawasiku. Aku duduk di bawah beralaskan karpet dengan meja pendek, membuatku terlihat seperti tengah diawasi oleh dua pilar besar dunia di bawah tekanan.

“Nadi, kalo udah besar mau kerja jadi apa?”, pertanyaan Bapak itu mulanya tidak ingin ku gubris karena saking dongkolnya diriku berkutat dengan angka yang seolah mengejek kapasitas kepalaku. Namun, setelah Bapak mengulang pertanyaannya lagi dengan nada yang menuntut, aku tahu bahwa berpura-pura tuli adalah perkara yang mematikan.

Aku menduga, pertanyaan ini boleh jadi adalah penentu untuk Bapak bisa memikirkan di mana aku bisa melanjutkan sekolah pada jenjang berikutnya. Sialnya, bulan kemarin aku terus membual tentang sekolah tata boga dan keinginanku membuat usaha kedai kopi modern yang biasanya dikunjungi para pemuda zaman sekarang. Namun pada acara keluarga besar yang diadakan dua hari yang lalu, aku bercerita dengan bangga pada sanak saudara dari Bapak, bahwa kelak aku ingin belajar giat agar kelak dewasa aku bisa menjadi ahli hukum berjaya seperti Paman Aryo. Kepalaku kian berkecamuk hebat.

Lalu aku melirik laptop keluaran lama di ujung meja belajarku, aku teringat pada sebuah laman yang ku akses untuk membaca berbagai karangan dari beragam penulis awam hingga profesional. Baru-baru ini aku membaca sebuah cerita berseri tentang agen mata-mata yang sedang menyamar di antara banyaknya mahasiswa di sebuah kampus untuk menyelesaikan sebuah misi. Sejak aku membaca karangan itu, dengan lugunya aku termotivasi untuk menjadi sekeren dan seimajinatif tokoh utama dalam menuntaskan kasus. Aku tak tahu sepintas pemikiran itu terdengar wajar atau tidak, tetapi bibirku sudah bergerak menyuarakan, lolos dari sortiran kesadaranku. “Aku mau sekolah kedinasan,” ucapku melirik wajah Bapak tanpa berani mendongak. 

Bibir pria itu terbuka dan aku segera menginterupsinya. “Sekolah Tinggi Intelijen Negara”, aku berucap mantap. Bapak mengerutkan dahi diambang keheranan dan kesukaran, bersamaan denganku yang malah lega karena sudah berhasil mengutarakan impianku. Jika aku yang kini duduk di burjo dapat menembus dimensi ruang dan waktu, tentu aku akan datang sebelum jawaban itu berhasil terlafal, lalu membungkam mulut aku yang lebih muda itu.

Setelah mendengar jawabanku, Bapak seolah lebih mempercayai bahwa pendengarannya bermasalah dibanding kejujuranku. Ia bertanya beberapa kali untuk memastikan jika jawaban itu sungguhan keluar dari mulut anak tengahnya. Aku pada awalnya salah menyangka bahwa Bapak hanya berusaha ingin lebih mengerti dan mengenal jalan pikirku, tapi sungguh dusta belaka prasangka baik itu. “Apa ini buah mimpi dari cita-citamu ingin menjadi penulis?”

“Bedakan antara realita dan mimpimu semata! Ini dunia nyata, jangan kamu samakan dengan mimpi-atau karangan cerita fiksi yang kamu ciptakan!”

Aku mematung. Mencoba mencerna, mungkin ada kesalahpahaman otakku dalam menangkap maksud Bapak. Walau meski seberapapun aku menolak percaya, Bapak memang benar-benar menghancurkan gugusan semesta penuh harapan yang sudah ku pupuk dari mimpi sederhanaku.

“Bapak bertanya serius, jangan membual. Perkataanmu tidak pernah bisa dipegang, Nadi. Dulu maunya menjadi guru, juru masak, atau dosen, dan kemarin pakar hukum, bahkan sekarang jawabanmu lain lagi—Apa tadi? Intelijen?”, Bapak tidak mengatakannya dengan lembut atau bahkan dengan tatapan teduh, atau setidaknya ada secercah kesan bahwa ia tidak berniat menyakitiku dengan perkataannya. Bapak tak tampak sebegitu sayangnya. Ia tak lupa menambahkan kekehan skeptis.

Aku hanya dapat diam dan menatap jemariku yang bermain kuku di pangkuanku. Pedihnya ucapan lelaki bertatapan tajam itu berhasil membuat semua isi kepalaku menguap begitu saja, dengan hanya menyisakan ucapan-ucapan Bapak yang berputar seolah terus menerus terdengar di telingaku. 

“Yasudah, Pak. Aku mau jadi sastrawan atau penulis saja”, entah mengapa aku merasa perlu mengucapkan sebuah jawaban pembelaan lagi agar Bapak menganggapku serius atau setidaknya membuat emosi Bapak yang gaduh menjadi usai. Namun, aku merutuki diri sendiri setelah mengucapkan sesuatu yang bahkan aku sendiri merasa sangsi.

“Memangnya zaman sekarang ada penulis yang menggantungkan gaji hanya dengan tulisannya? Bapak mau kamu bisa menjadi orang sukses, yang tidak perlu menjadi bawahan orang lain, membangun bisnis sendiri..”, lalu sisa ucapan Bapak setelahnya kuanggap curahan mimpi Bapak sendiri—bukan mimpiku—mimpi yang tak mau Bapak dengar.

Ketika sudah besar, aku baru mengerti—mengapa Bapak sangat ingin aku memenuhi kriteria sukses menurut pandangan beliau sendiri. Mengapa Bapak sangat ingin aku bisa membeli baju berkualitas kain bagus, atau mengoleksi mobil berspesifikasi tinggi, atau menginvestasikan tanah berhektar-hektar. Dan mengapa Bapak seringkali berandai bahwa betapa sejahteranya menjadi seorang pejabat atau eksekutif perusahaan yang bahkan seberapapun ia menggunakan jatah liburnya, angka pemasukannya tidak terpengaruh sama sekali. Aku mulai mengerti alasan-alasan itu.

Namun, ibarat sedang menanam sebuah tumbuhan, aku sudah merawat benih hingga mempunyai sejengkal batang, beberapa dedaunan, dan tengah menunggu munculnya kuncup bunga—tetapi Bapak dengan sembrono merobek daun, mematahkan batang, dan menghancurkan akar tumbuhanku itu. Lalu ia menitahku agar menanam kembali tumbuhan sesuai dengan keinginannya, Bapak juga seolah sudah memprediksi jika buah pada bakal pohonku itu hanya akan berukuran kecil, tidak sedap, dan sia-sia. Dan Bapak benar-benar membuat usahaku selama ini menghidupkan tanaman itu sia-sia.

Mengapa Bapak begitu, alih-alih memberikanku benih yang baru dan mengajakku untuk merawat kedua tanaman itu bersama-sama? Aku tidak pernah mengingat jika tanamanku memiliki duri dan melukai bapak, aku tidak pernah mengingat jika tanamanku berbau tak sedap atau tidak elok dipandang, aku juga tidak pernah merasa jika tanamanku lebih buruk daripada tanaman lain milik saudara sepersusuanku..

“Terus, kamu nyerah gitu aja buat mewujudkan  salah satu dari banyak cita-cita masa kecilmu?”, Eka menatap mataku yang lurus memperhatikan kekosongan. Aku menggeleng dan terkekeh pahit, “Sejak saat itu, semua bentuk keinginanku cuma jadi imajinasi belaka, nggak ada satupun cita-cita. Jadi aku nggak punya cita-cita masa kecil untuk diwujudkan.” aku terkekeh kecil sambil mengaduk-aduk isi mangkuk.

“Lagipula, masuk jurusan kelautan bukan cita-cita siapapun. Aku cuma kebetulan jago macam-macam gaya renang. Yang aku lakukan sekarang itu cuma nentuin satu dari banyak cabang jalan. Aku gak punya tujuan yang mengarahkan jalanku ke sana”, aku menyuap ketan hitam di ujung sendok dengan malas.

Eka terdiam, mungkin ia merasa sungkan dan bimbang bahwa harus dengan bagaimana ia merespons ceritaku yang tidak mengenakkan ini. Sedang aku hanya terus mengunyah bubur tanpa nafsu.

Aku menyerah pada suapan bubur ketiga, aku malah meludeskan air mineralku. Eka memang tipikal orang yang sangat hati-hati jika bertutur kata, padahal jika pun Eka merespon ceritaku dengan tawa sumbang, aku tidak masalah. Karena memang jika dipikir-pikir lagi, kisahku tadi cukup menggelikan. Bagaimana bisa seseorang takut bercita-cita hanya karena hardikan semata? Mungkin memang benar kata banyak manusia yang sudah memakan asam garam kehidupan, jika muda mudi zaman sekarang memiliki mental yang lemah. Aku bisa saja bersikap defensif dengan mengatakan bahwa aku dan sepantaran generasiku bukannya ringkih, rapuh, atau semacamnya. Namun, kami hanya semakin berani menjadi manusia seutuhnya yang bisa peka akan sebuah masalah, berterus terang, dan terus berusaha mencari solusi meski dalam perjalanannya, idealisme kami akan terus bertabrakan dengan realita kemajuan dunia yang bergerak kilat. Tapi apapun itu, apakah salah untuk menjadi lemah?

Yah, intinya jika aku menemukan karangan bagus, pemikiran hingga memori itu dengan mandirinya berdatangan menjenguk akalku,” ujarku setelah menghirup oksigen dalam-dalam. Eka merogoh saku celananya dan menyodorkan sebungkus rokok beserta koreknya di hadapanku.

“Bubur ketan hitam gak mempan buat waktu-waktu kayak gini, kan?”

Aku semakin terkekeh sambil menerima itu dengan senang hati, tertawa melihat hanya dua batang yang tersisa di sana.

Sejak saat itu, Eka tidak pernah berniat menanyaiku atau bahkan menggangguku jika aku tiba-tiba melamun panjang saat tengah memegang buku. Ia hanya akan membiarkanku begitu saja sambil berspekulasi, penulis mana lagi yang membuatku iri hati. Atau, Eka juga bertanya-tanya, sampai kapan aku—Nadi—akan terjebak dalam lingkaran setan penuh penyesalan seperti itu?

 

Karya: Ghiffara Husna Mabruri

Editor: Tiara Nur A’isah

Exit mobile version