Site icon Saluran Sebelas

Babylon di Serambi Kampus

(Oleh: Adhy Nugroho)

 

BABYLON telah mengalami pergeseran makna. Itu bukan lagi tentang kota yang dikata terbesar pada masanya. Peran budaya pop membuat kata ‘babylon’ bisa berarti sebuah sistem yang tidak adil, opresif, bahkan yang cukup ngeri, iblis.

 

 

Ada satu bentuk ekspresi peratapan dalam Mazmur 137:1-4 yang sering dinyanyikan oleh orang-orang sampai saat ini. Pada ayat 1, sebuah latar diceritakan dari tepian sungai Tigris di mana orang-orang mulai mengingat Yerusallem. Mereka adalah orang-orang yang menjadi tawanan, sebelumnya, mereka adalah orang-orang Judah; kerajaan di selatan Israel. Pada ayat 4, mereka seperti bertanya, bagaimana mungkin kami menyanyikan lagu Tuhan di tanah yang asing?

 

 

Ada cerita panjang tentang pemindahan orang-orang dan penawanan yang terjadi di masa silam itu. Pada hari ini, peristiwa itu seperti menjadi suatu kenangan dan bentuk pelajaran. Baik itu untuk menjaga manusia untuk terhindar dari kelalaian, maupun sebagai pengingat atas bentuk ketidakadilan dan pengekangan terhadap kebebasan. Bagaimana kita membayangkan orang-orang Judah yang menjadi tawanan? Atau bagaimana tanah mereka yang ditinggalkan?

 

 

Sebuah kisah lain terjadi di serambi kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Kamis, 16 Agustus 2018. Di sepanjang Jalan Ki Hajar Dewantara – KH Maskyur, reruntuhan bangunan tergeletak, diam. Dari barat, Café-café favorit supir-supit truk terpampang jelas setelah beberapa waktu yang lalu tertutup oleh bangunan-bangunan (semi) permanen di depannya. Di timur, beberapa tulisan di beberapa titik yang dulu dijadikan area jualan terpasang pengumuman ‘pindah’ sekian meter atau ke arah mana.

 

 

“Saya sudah jualan di situ 18 tahun, di sini baru 5 bulan,” aku Slamet Riyadi (38) salah satu Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjajakan es kelapa muda. Kini ia berpindah beberapa meter ke arah timur, mengontrak dengan usaha sendiri.

 

 

Sejak awal tahun 2018, Pemerintah Kota Surakarta sudah merencanakan penataan kota di area Jalan Ki Hajar Dewantara – KH Maskyur untuk dijadikan baik trotoar maupun Ruang Terbuka Hijau. Beberapa permasalahan terjadi pada prosesnya. Pertemuan pertama antara pihak PKL dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) tidak menemukan kesepakatan. “Awalnya mau ditata lah, bukan digusur,” ujar Slamet.

 

 

Pada Maret 2018, suara PKL disuarakan lewat spanduk bertuliskan ‘Menolak Penggusuran Tanpa Solusi’. Itu disuarakan oleh para PKL yang tergabung dalam satu paguyuban. “Kalau dipindah malah kebetulan, itu ada solusi,” ujar Slamet. Pada saat itu yang menjadi permasalahan adalah soal ganti rugi dan rencana pemindahan, semacam “Kami akan dikemanakan?”

 

 

Resistansi dan dukungan dari mahasiswa

 

PKL di area tersebut, sederhananya terbagi atas dua area, yaitu area Ki Hajar Dewantoro dan area KH Maskyur. Namun, setelahnya, PKL terbagi atas mereka yang kemudian mau untuk mengikuti rencana Pemkot dan mereka yang masih bertahan. Hal ini juga dipengaruhi oleh anggapan siapa yang paling “solo”. Wali Kota menjanjikan untuk mengurus PKL dan terutama bagi wong solo. Pemkot memberi perhatian lebih pada mereka yang ber-KTP Solo.

 

 

Mereka menjadi tidak satu suara. Awal April, penertiban dimulai. Para PKL yang bertahan tersisa pada angka yang lebih sedikit ketimbang yang menerima untuk ditertibkan, itu termasuk Slamet. “Kata Disperindag, yang bertahan jangan dibongkar dulu, yang sudah tanda tangan dan cair, dibongkar tidak apa-apa” kata Slamet.

 

 

Dukungan turut datang dari para mahasiswa UNS yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Bersama Pedagang. Itu terdiri atas Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS, FISIP. FP, FIB, dan FEB. “Kita mengikuti apa yang diinginkan PKL,” ujar Rizki Almalik dari Kementerian Advokasi dan Kajian Kota BEM UNS. Sebagai bentuk dukungan, para mahasiswa, turut membuat setting dan strategi dengan para PKL ketika mengadakan pertemuan.

 

 

Selama ini mahasiswa sikap mahasiswa adalah mendukung penuh apa yang diinginkan oleh PKL. Negosiasi dengan DPRD, perwakilan mahasiswa masih bisa masuk dan mendampingi PKL. Namun, oleh pemkot mereka ditolak, mereka melakukan audensi dari luar. “Kami bukan advokat,” ujar Rizki.

 

 

Pada awalnya, ada dua usulan yang diharap bisa menjadi solusi untuk para PKL. Yang pertama adalah bertahan, yang kedua adalah bertahan dengan penataan atau dibuatkan selter atau semacamnya. “Ada rencana untuk pemindahan ke pasar-pasar yang mangkrak, contohnya Pasar Kliwon, itu bagaimana?” kata Slamet, heran. Pasalnya, menurutnya model dagangannya bukanlah dagangan yang cocok untuk ada di tempat macam Pasar Kliwon.

 

 

Seperti orang-orang Judah, pemindahan macam itu seperti akan membuat pedagang merasa asing. Ini juga sudah lima bulan Slamet menempati tempat baru, “Ya tentu saja beda” katanya.

 

 

Solusi yang diharapkan

 

Para PKL diberi kesempatan untuk mengajukan proposal pembuatan selter di area KH Maskyur. Di tempat itu, ada titik yang cukup lebar untuk dibangun selter untuk para PKL yang masih bertahan, yang berjumlah kurang lebih 30. Para PKL mulai melunak setelah delapan bulan berjuang. “Intimidasi tidak hanya pada PKL tapi juga keluarga,” kata Rizki menceritakan keadaan. “Sudah legowo” terusnya.

 

 

Kini Slamet dan teman-temannya sedang menunggu hasil pengumuman pengajuan selter. Senin, 20 Agustus 2018 diagendakan pengumuman apakah pengajuan itu diterima atau tidak. Selain itu, ia juga sedang menanti kejelasan ongkos bongkar. “Yang sudah tanda tangan dari dulu sudah dapat,” kata Slamet. Ia merasa sangsi jika saja para pedagang yang menandatangani persetujuan di akhir tidak mendapat ongkos bongkar. “Ya pasti anggarannya sudah ada. Aneh saja jika tidak diberikan,” katanya.

 

 

Sementara runtuhan bangunan masih tergeletak. Sore itu terlihat seorang laki-laki sedang mengais beberapa batu bata di antara reruntuhan bangunan. Untuk membuat kandang kambing katanya. Slamet berjualan di tempat barunya. Tentu ia tidak mengharapkan untuk dipindahkan ke tempat yang asing. Ia tidak mau “menyanyikan lagu Tuhan” ditempat asing itu. Ia sudah 18 tahun ada di area kampus UNS, mencari nafkah, dan menghidupi keluarga. []

Exit mobile version