Site icon Saluran Sebelas

APAKAH KLATEN TAK LAGI MEMANDANG TOKOH LEGENDA?

Tak lama lagi masyarakat Klaten akan mendapatkan persembahan berupa gedung pertemuan megah yang berlokasi di Buntalan, Klaten Tengah (sebelah Terminal Ir. Soekarno). Hal ini dikarenakan Pemerintah Kabupaten Klaten akan menuntaskan pembangunan proyek gedung pertemuan tersebut pada 2021. Gedung ini digadang-gadang akan menjadi yang terbesar dan termegah di Klaten dengan luas bangunan utamanya 5000 meter persegi dan daya tampungnya mencapai 3000 orang. Dana APBD yang digelontorkan pun terbilang fantastis dengan total Rp61,9 miliar terhitung dari tahun 2018 hingga 2021.

Dilansir dari Jawa Pos bahwa pembangunan gedung pertemuan telah dimulai sejak 2018 dengan anggaran Rp3,5 miliar yang digunakan untuk pengurukan tanah dan pembuatan talut sungai. Pada penghujung 2019 dikucurkan anggaran sebesar Rp15,4 miliar untuk membangun gedung utama. Kemudian pada 2020 pembangunan gedung pertemuan ini dilanjutkan dengan anggaran awal sebesar Rp42,4 miliar, tetapi karena adanya refocusing anggaran maka disusutkan menjadi Rp36 miliar yang digunakan untuk penyelesaian gedung utama, perataan tanah dan pembangunan talut mengelilingi gedung. Selanjutnya pada 2021 rencananya dana APBD sebesar Rp7 miliar akan dialokasikan untuk penyelesaian bangunan pendukung gedung utama, lantai halaman gedung, pengadaan sound system, dan sarana serta prasarana penunjang lainnya.

Sementara itu, pemberian nama gedung pertemuan tersebut menjadi sorotan publik akhir-akhir ini. Pasalnya, gedung ini rencananya akan diberi nama Gerha Megawati yang tentu menarik perhatian berbagai kalangan masyarakat karena nama tersebut tidak lepas dari sosok Presiden RI ke-5 yakni Megawati Soekarnoputri. Sebenarnya penyematan nama tersebut sah-sah saja dan alasannya pun masuk akal yakni untuk memberikan penghormatan dan penghargaan kepada Megawati sebagai perempuan pertama yang menjadi Presiden Republik Indonesia sekaligus tokoh nasional.

Di sisi lain, pemilihan nama ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan dari masyarakat. Mengapa harus bernama Gerha Megawati? Mengapa Pemerintah Kabupaten Klaten atau Bupati Klaten tidak berkeinginan untuk menggunakan nama tokoh yang berasal dari Klaten? Apakah Klaten sudah krisis identitas? Apakah gedung tersebut juga akan dicat warna merah agar lebih menunjukan identitas sosok yang nantinya dijadikan nama gedung? Hmm… Menarik untuk dinanti.

Pada umumnya penamaan terhadap sebuah tampat atau bangunan perlu adanya landasan filosofis untuk lebih menunjukan identitas lingkungan yang diwakili. Oleh karena itu, tentu perlu penerapan yang seimbang dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat, karakteristik arsitektur, dan aspek lingkungan. Apabila ditinjau kembali pembangunan gedung pertemuan tersebut juga menggunakan dana APBD yang mana setiap elemen masyarakat sebaiknya dilibatkan setidaknya dalam pemberian nama. Bukan malah memutuskan sendiri tanpa melibatkan masyarakat karena sejatinya dana APBD berasal dari masyarakat dan masyarakat pun berhak untuk berpartisipasi.

Jika nama tersebut tetap dijadikan opsi utama maka tidak menutup kemungkinan akan memunculkan berbagai asumsi salah satunya bahwa pemilihan nama untuk gedung pertemuan tersebut pasti ada kaitannya dengan kepentingan politik. Hal ini, disebabkan karena tokoh yang dipilih untuk menjadi nama gedung pertemuan merupakan ketua umum partai yang saat ini diikuti oleh Bupati Klaten. Entah apa yang menjadi pertimbangan sesungguhnya terhadap nama yang akan diberikan pada gedung pertemuan tersebut. Padahal masih banyak nama yang dapat digunakan untuk lebih menunjukkan identitas atau ciri khas Klaten.

Megawati sebagai calon nama gedung pertemuan yang bakal menambah ikon Klaten ini tentunya kurang menunjukkan ciri khas dan identitas Kabupaten Klaten. Terdapat kesan bahwa pemerintah kabupaten melupakan tokoh-tokoh masyhur yang sudah banyak memberikan pengaruh terhadap peradaban bangsa dan negara sekaligus telah melekat identitas Klaten dalam dirinya. Tokoh tersebut misalnya R. Ng. Ronggowarsito, beliau merupakan seorang pujangga besar dari Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang memiliki pengabdian luar biasa dan dimakamkan di Klaten (dahulu menjadi Kadipaten dari Kasunanan Surakarta). Berikutnya, Sunan Pandanaran sebagai tokoh yang memiliki pengaruh cukup besar dalam penyebaran agama Islam khususnya di Bayat sehingga namanya juga menjadi ikon religi dari Klaten.

Selain itu, ada Ki Ageng Gribig yang juga merupakan tokoh penyebar agama Islam khususnya di Jatinom sekaligus pencetus tradisi Saparan Yaa Qowiyyu atau sebar apem yang hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat setempat. Ada pula Ki Ageng Perwito, seorang pujangga dari Kerajaan Pajang pada masa pemerintahan Mas Karebet atau Jaka Tingkir yang memiliki kiprah luar biasa dan meninggalkan pengaruh sosial budaya di Klaten khususnya Wonosari. Satu lagi tokoh yang menjadi maestro hingga saat ini adalah Ki Nartosabdo, beliau merupakan seniman kelahiran Klaten yang memiliki peran besar dalam perkembangan kesenian wayang di Jawa Tengah.

Itulah sedikit gambaran mengenai tokoh-tokoh masyhur yang sangat disayangkan apabila dilupakan ketika hendak memberikan nama gedung pertemuan tersebut. Sudah selayaknya pengabdian mereka yang memiliki banyak pengaruh terhadap masyarakat untuk diberi penghargaan oleh Pemerintah Kabupaten Klaten atau setidaknya menjadikannya sebagai nama bangunan dalam hal ini gedung pertemuan tersebut. Mungkin masyarakat Klaten lebih bangga apabila penamaan gedung pertemuan yang megah tersebut menonjolkan identitas Kabupaten Klaten dengan nama-nama tokoh yang telah disebutkan sebelumnya, seperti Gerha Sunan Pandanaran, Gerha Ki Nartosabdo, Gerha Ki Ageng Gribig, Gerha Ronggowarsito atau tokoh yang lain.

Jika salah satu nama itu dipilih maka akan menjadi sangat relevan sebab tokoh-tokoh tersebut pada masanya telah memberikan sumbangsih pada masyarakat di bidangnya masing-masing. Di sisi lain, juga lebih menunjukkan identitas bahwa gedung pertemuan tersebut benar-benar milik masyarakat Klaten dan tentunya memang berada di Klaten. Sayangnya, tokoh-tokoh tadi tidak dijadikan pertimbangan dan mungkin telah dilupakan oleh Pemerintah Kabupaten Klaten atau Bupati Klaten dalam memberikan nama untuk sebuah gedung pertemuan megah tersebut.

Penulis : Ichsan Nugroho dan Firzatulloh Irhab Kautsar
Editor : M. Wildan Fathurrohman

[su_box title=”Ichsan Nugroho”]Mahasiswa Ilmu Sejarah 2018
ichsannugroho009@gmail.com
[/su_box]

Exit mobile version