Site icon Saluran Sebelas

Ancaman Politisasi Pendidikan

Politisasi pendidikan tergolong dalam dangerously act (tindakan berbahaya). Di dalamnya termuat unsur manipulatif yang merusak nilai-nilai pendidikan. Kejahatan yang menggerogoti kekayaan negara sekaligus menghancurkan masa depan generasi penerus bangsa.

Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) nomor :13090/CI.84 tanggal 1 Oktober 1984 telah mengatur penempatan wilayah pendidikan dalam perspektif Wawasan Wiyata Mandala sebagai sarana ketahanan sekolah. Wawasan Wiyata Mandala merupakan cara pandang sekolah adalah lingkungan atau kawasan penyelenggaraan pendidikan. Sekolah sebagai tempat mendidik, mengajar, dan melatih. Sekolah tidak boleh digunakan untuk tujuan-tujuan di luar tujuan pendidikan. UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Pasal 3, telah mengatur Tujuan Pendidikan Nasional. Sesuai dengan perspektif Wawasan Wiyata Mandala, segala yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan meliputi; sistem, institusi, maupun personality tidak dibenarkan dipergunakan untuk kegiatan selain yang termaktub dalam Tujuan Pendidikan. Hal ini sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang terdapat pada Pasal 4, UU Sisdiknas.

Pada kenyataannya pendidikan yang seharusnya digunakan untuk tujuan pendidikan malah dijadikan ajang politisasi khususnya oleh pemerintah. Kita tahu bahwa kurang dari 10% departemen atau lembaga negara yang dipimpin oleh figur yang benar-benar berlatar belakang kalangan profesional pada masing-masing bidang. 90% departemen dan lembaga negara ditempati oleh kader-kader partai, termasuk di antaranya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Ilustrasi konkretnya: seorang Dirjen Mandiknas bisa memberlakukan kurikulum yang dianggap baik secara politis meskipun tidak baik secara akademis. Misalnya: UN hanya berpijak pada ranah kognitif pembelajaran secara parsial. Kurikulum berbasis kompetensi mempromosikan bahwa belajar adalah proses membangun kecakapan hidup dan menjalankan kehidupan secara utuh, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan hidup sosial, kecakapan berpikir kritis, kecakapan melakukan penyelidikan untuk memecahkan masalah (kecakapan akademik) dan kecakapan vokasional (Depdiknas, 2002). Pembentukan karakter anak didik perlu dibangun. Bukan masalah kurikulum atau UN tidak penting, tetapi cara pandang ini akan membuat pendidikan terlepas dari realitas sosial yang terjadi dimasyarakat.

Politisasi pendidikan ujung-ujungnya adalah ajang komersialisasi pendidikan. Biaya pendidikan yang tak kunjung murah seperti yang dijanjikan para politisi sebelum menjabat, bahkan kita sendiri tahu biaya pendidikan ini semakin mahal. Pemerintah seolah tidak memikirkan bagaimana realitas sosial dimasyarakat yang selalu haus akan pendidikan tetapi terbatasi oleh kemampuan khususnya materi.

(di sampaikan dalam diskusi internal LPM kentingan UNS, Jumat 8 Juli 2011)

Pandhu Abdi Surya

Exit mobile version