Tomblok Wisuda

KELUAR dari Auditorium, Tomblok merasa bingung. Rasa Tomblok bercampur aduk. Setelah berkuliah sekira empat tahun kurang empat bulan, ia sah diwisuda. Bahagia sebab merasa lega telah memenuhi harapan orang tua. Kecewa dan sedih lantaran beberapa target selama kuliah meleset.

 

Suasana di luar gedung begitu riuh. Gaduh isak hingga tawa membingkai kebahagiaan kelulusan. Tak luput, penjaja balon, penjaja teh gelas, penjaja bunga, sampai penjaja jasa foto wisuda turut bersorak riuh menawarkan dagangan.

 

“Yang haus yang haus, monggo es teh, Mas,” sapa penjual teh gelas.

 

“Sudah pak, tadi sudah dapat minum di dalam,” sambut Tomblok.

 

“Foto foto foto, silakan mampir, Mas. Foto sendiri, foto keluarga, foto bareng teman juga bisa, silakan, monggo monggo,” sahut penjaja jasa foto.

 

“Wah, tidak usah pak. Saya sudah difoto sama tukang foto pas salaman sama Pak Rektor di dalam tadi,” jawab Tomblok.

 

“Murah lho, Mas. Mumpung di sini promo pas wisuda, harga mahasiswa lah, Mas,”

 

Sampun, Pak. Mboten usah,”                            

 

Lho, mumpung wisuda, Mas. Momen langka lho ini masak enggak foto to,” bujuk Tukang foto.

 

“Masalahnya saya itu enggak begitu suka difoto lho, Pak,”

 

“Tapi ini kan mumpung wisuda, Mas. Eman-eman, lho kalok enggak foto,”

 

“Lho, emang kenapa to, kok wisuda harus foto, Pak?”

 

“We-e-e, Mas itu kok lugu banget to ini,”

 

“Sini sini tak bilangin, Mas,” lanjut Tukang foto.

 

“Mas, wisuda itu waktu yang paling membanggakan buat mahasiswa lho. Banyak dikasih selamat sama keluarga, temen, sampai kalo punya pacar ya bakal dikasih selamat juga. Mereka ngasih selamat karena atas pencapaian panjenengan ini yang sudah berhasil lulus jadi sarjana. Mas harusnya bangga sama diri panjenengan,”

 

Halah, biasa saja kok, Pak. Wisuda ya tinggal wisuda. Ini kan cuman acara seremonial saja to?”

 

Lha itu, Mas. Seremonial. Justru harusnya dirayakan dengan berbahagia. Nah, untuk kenang-kenangannya, ya lewat foto ini, he-he-he,”

 

“Pak Tukang foto ini kok pinter banget kalok suruh ngerayu,”

 

Lho, ini bukan ngerayu, Mas. Ini tenanan, lho,”

 

Halah, sampun, Pak. Saya enggak foto saja,”

 

Walah walah, Mas ini kok dibilangin susah to. Mas, kalok panjenengan foto, kan nanti fotonya bisa dipajang di ruang tamu, kamar, atau malah di fesbuk apa Instragram. Apalagi ini latar belakang fotonya gambarnya tumpukan buku-buku lho itu. Jadi kalok orang lain lihat foto panjenengan jadi paham, kalok Mas itu sarjana yang selama mahasiswa rajin baca-baca buku, kan keren to mas,”

 

Waduh, Pak. Ini masalahnya, Pak,”

 

Lho, kok malah jadi masalah?”

 

“Begini, Pak. Saya jelasin,”

 

Monggo monggo gimana?”

 

“Saya itu selama jadi mahasiswa cuman baca buku sedikit sekali, Pak. Malah sekarang itu saya kecewa karena diwisuda. Eh, malah sedih ini. Masak jadi sarjana baru baca buku sedikit. Target membaca buku saya selama ini luput, Pak. Meleset dari jumlah buku yang saya inginkan,”

 

“Itu bagi panjenengan jadi masalah, Mas?”

 

Weh, ya iya to, Pak. Beban moral itu, sebagai sarjana,”

 

Owalah, terus apa hubungannya sama panjenengan enggak mau foto di tempat saya?”

 

“Ya, karena tumpukan buku di gambar latar fotonya itu lho, Pak,”

 

“Tumpukan bukunya kenapa?”

 

“Karena jumlah buku yang ditumpuk itu jauh lebih banyak daripada jumlah buku yang saya baca waktu kuliah. Apalagi di situ gambar buku-buku tebal kayak gitu,”

 

Owalah, jadi panjenengan nanti malu kalok fotonya itu dipajang di rumah atau media sosial, Mas?”

 

“Nah itu, Pak. Malu karena fotonya itu, he-he-he,”

 

Owalah, begitu ya, Mas. Ya sudah kalok begitu foto sama buku yang sudah panjenengan baca saja, sana!”

 

“Ya nanti wagu, Pak,”

 

“Wagu? Ya biarin, wong memang wagu. Ha-ha-ha,”

 

Lha nggih, to,” []

 

 

 

[author title=”Muhammad Ilham” image=”https://www.saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/07/Muhammad-Ilham.jpg”]Sosiologi 2014. Surel: muhilham1996@gmail.com. [/author]