Panggung Waria dan Cinta Segitiga

Panggung Waria dan Cinta Segitiga

Waria akan terus berada di dalam sebuah ‘pesta’ karena di sanalah sebuah panggung didirikan dan eksistensi mereka bisa dikukuhkan. Kehidupan mereka telah dikondisikan untuk melakukan rentetan ‘pesta-pesta kecil’, berpaes, berkumpul, melacur.

Judul Buku : Deleilah Tak Ingin Pulang dari Pesta

Pengarang : Puthut EA

Penerbit : Insist Press

Tahun : 2009

Tebal : 125 halaman

Deleilah merupakan buku yang berisi dua naskah drama yang pernah dipentaskan di Yogyakarta. Naskah pertama adalah ‘Deleilah Tak Ingin Pulang dari Pesta’ dipentaskan sebagai acara penutupan rangkaian Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) XX di Gedung Societet Militer Taman Budaya Yogyakarta. Sedangkan naskah kedua adalah ‘Jam 9 Kita Bertemu’ dipentaskan di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) oleh kelompok teater Gardanalla. Keduanya disutradarai oleh Joned Suryatmoko.

Adalah tiga waria Rosiana (Ahmad Rizky), Luna Maya (Alex Dicky), dan Happy Salma (Agus Pamuji) yang tergabung dalam sebuah grup penghibur bernama Deleilah. Deleilah selalu bisa menunjukkan kepiawaian menyanyi dan menari sehingga berhasil mendulang sukses di sebuah kelab bernama Metro Nite Club, yang dimiliki oleh Brian. Tetapi masa lalu tetap membuntuti mereka. Sesekali ada panggung yang menceritakan tentang masa kecil Rosi, Happy, dan Luna. Gambaran keluarga dan masa kecil yang dipenuhi dengan ketidakadilan sehingga mereka memutuskan untuk menjadi waria.

Sebagaimana para waria pada umumnya, Rosi, Luna, dan Happy pernah lama hidup di jalanan, di dunia pelacuran. Tapi keberhasilan mereka di panggung hiburan membuat mereka menarik diri dari lingkungan pergaulan para waria, kecuali Rosi. Luna yang dikompori oleh Novi mulai mengembangkan ambisinya untuk menanjaki karir yang lebih tinggi yakni sebagai selebriti. Happy terobsesi menjadi politisi untuk memperjuangkan nasib para waria hingga kemudian bertemu Dian yang mengentalkan ambisinya. Rosi, walaupun telah sukses di Deleilah tapi ia masih sering kembali ke jalanan bersama para waria lainnya.

Saat kedua personil Deleilah sibuk dengan obsesinya masing-masing, konflik mulai terjadi dalam grup ini. Jadwal manggung yang kacau, persaingan tersembunyi antara Happy dan Luna, hingga terancam bubarnya Deleilah. Pada saat yang bersamaan timbul kabar bahwa Metro, tempat Deleilah biasa manggung akan ditutup karena bangkrut.

Penyesalan terjadi pada Happy dan Luna yang kemudian meninggalkan Dian dan Novi yang selama ini ada di belakang mereka. Namun Brian tetap memutuskan menutup Metro dan menggantinya menjadi gedung bioskop. Mereka bertiga akhirnya kembali ke jalanan, tempat mereka berasal. Namun Happy tetap meneruskan ambisinya untuk memperjuangkan nasib waria dan menjadi politisi. Begitu juga dengan Luna yang walaupun tidak berhasil menjadi selebriti tapi ia berhasil menjadi desainer ternama. Sedangkan Rosi tetap menjadi penyanyi bersama Dedi, manajer Deleilah.

Naskah kedua berjudul Jam 9 Kita Bertemu, berkisah tentang cinta segitia antara Kenes, Doni, dan Lisa. Doni adalah seorang laki-laki yang sudah beristri dan berprofesi sebagai pembuat film. Dia terlibat hubungan gelap dengan Kenes, teman dari Lisa yang dulu juga pernah memiliki hubungan dengan Doni. Doni tinggal di Yogyakarta, sedangkan Kenes berada di Jakarta. Sehingga mudah bagi mereka untuk berhubungan tanpa ketahuan oleh istri Doni.

Suatu ketika Kenes nekat pindah ke Yogyakarta agar dapat dekat dengan Doni. Namun hal itu justru membuatnya tidak pernah bertemu dan hubungan mereka semakin renggang karena Kenes selalu menuntut pengakuan dari Doni. Pada saat seperti itulah Doni mengharapkan kehadiran Lisa yang tenang dan sangat memahami Doni serta tidak pernah menuntut apapun.

Akhirnya Lisa menyanggupi untuk bertemu dengan Doni. Doni meminta untuk menjemput Lisa di bandara saat kedatangannya dari Jakarta. Namun Lisa tak ingin kejadian yang sama terulang kembali, maka ia menyuruh Kenes juga menjemputnya di bandara jam 9.

Buku ini menggambarkan kematangan penulis saat menyusun kedua naskah drama tersebut. Pembaca dibawa berimajinasi ke dalam sebuah panggung. Terlebih ditambah dengan penjelasan setting, watak dan visualisasi tokoh yang akan melengkapi imajinasi pembaca. Selain itu, buku ini dapat digunakan sebagai referensi pengalaman mengenai dunia waria, dunia yang sampai saat ini masih belum diakui.

Karena buku ini ditujukan kepada pembaca yang dewasa, maka tidak heran jika banyak terdapat penggunaan kata yang vulgar sesuai temanya. Buku ini wajib sebagai bacaan para pegiat teater dan diharapkan agar mereka tidak sekadar menghasilkan karya yang biasa. Masalah-masalah yang jarang dikemukakan seperti waria ini perlu diangkat ke atas panggung juga agar masyarakat memahami keadaan nyata di sekitar mereka. [Ayu Ahsanu]