Otobiografi Perubahan Iklim

Perubahan iklim itu terjadi dalam biografi diri. Dimulai dari pengalaman tubuhku, berlanjut sampai pada pemahaman kognitif sejak di rumah, bangku sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi. Semuanya adalah pengalaman yang begitu dekat dengan lingkungan kehidupan, seperti kita tidak mungkin hidup tanpa dukungan alam.

Biar aku memulai dari kenangan masa kecil sepuluh tahun yang lalu: kerap kali dalam seminggu, aku dan kawan-kawanku diiringkan seorang pengasuh pergi ke belakang rumah-rumah penduduk. Jaraknya dekat saja. Di sana ada sebuah aliran sungai. Di sekelilingnya sawah-ladang yang menghijau. Aliran sungai itu besar, namun tidak cukup deras untuk menghanyutkan kami. Ada air terjun mini (kami menyebutnya grojogan) yang mengalir dari balik batu-batuan yang lebih tinggi di salah satu sisi. Di bawahnya kami bermain, menangkupkan tangan-tangan kami agar air tidak keluar dari kungkungan tangan. Jangan lupakan batu-batuan sungai yang jelas terlihat di bawah kaki-kaki kecil kami: batuan berlumut hijau, besar, kecil, putih dan hitam, dan kami sering terpeleset. Tetapi begitulah, kami selalu datang ke sungai dan bermain bersamanya. Sungai tidak terpisahkan dari masa kanak-kanak kami. Inilah pengalaman ragawi bersama alam yang pertama.

Pengalaman ini digenapi dengan ilmu pengetahuan alam (IPA) yang paling dasar di bangku sekolah dasar. Masih lekat dalam ingatanku dan beberapa teman, kami diberi pemahaman dasar terkait seluk-beluk alam. Alam ternyata bisa jadi ilmu. Guru kami, juga kepada semua anak sekolah dasar di seluruh Indonesia, memperkenalkan macam-macam makhluk hidup lengkap dengan bagian-bagiannya. Kami juga dikenalkan dengan macam-macam jenis tumbuhan, yang diklasifikasikan menurut bentuk daunnya. Tentu saja ini bergaya ilmu naturalisme (natural science) objektif Eropa yang kemudian banyak digugat secara filosofis sebagai penyebab rusaknya alam dan perubahan iklim—sesuatu yang aku sadari di kampus. Ini tidak seperti orang tua kami memperkenalkan alam yang lebih bersifat dongeng atau pengalaman ragawi.

Yang paling kuingat dari pelajaran sekolah dasar itu ialah klasifikasi tumbuhan berdasarkan jenis akarnya. Serabut dan tunggang. Dari penjelasan guruku, di kemudian hari, aku tahu bahwa tumbuhan berakar tunggang mempunyai andil besar terhadap keberlangsungan aliran sungai, termasuk sungai di mana aku sering bermain. Pepohonan yang berakar tunggang itulah yang berjasa memelihara unsur hara air. Akarnya yang menghunus tanah sampai kedalaman begitu kuat mengikat air. Kini, sungai yang lebih mirip irigasi di sepanjang jalanan kota tak lagi kutemui grojokan yang membuat aku dan teman-temanku kuyup dan susah membelakakkan mata dengan sempurna akibat percikan airnya yang cukup deras. Tak ada lagi tawa-tawa riang anak-anak  di sungai. Kondisi aliran sungai yang demikian juga membawa dampak pada sulitnya sumber air di rumahku. Kerap kali pada musim kemarau kedua sumurku kering.

Sekarang, aku merasa bahwa penjelasan akar tunggang tidak cukup lagi memberikan pemahaman. Bahkan, baru aku sadari bahwa inisiasi pengajaran ilmu alam yang aku dapatkan di sekolah dasar dulu tidak cukup memberikan pemahaman perihal perubahan iklim, penyebab-penyebabnya, dan terutama antisipasi yang bersifat kognitif sejak dini. Tentu saja isu perubahan iklim adalah tema yang melibatkan banyak faktor, seperti penggunaan teknologi yang merugikan alam dan keserakahan manusia dalam tingkat negara dan global.

Namun, menurut pengalaman pelajaran IPA yang kudapatkan, inisiasi ilmu pengetahuan alam begitu penting. Saya mulai bertanya-tanya: adakah di ingatan bahwa semasa belajar pengetahuan alam mulai dari sekolah dasar sampai ke tataran sekolah menengah atas kita menemui,  katakanlah sebagai satu contoh, tata cara menanam pohon dan manfaatnya bagi keberlangsungan kehidupan di bumi dalam buku-buku teks pelajaran? Yang kuingat ada cara mencangkok serta menyetek tumbuhan. Ini adalah sebentuk eksploitasi terhadap alam kecil-kecilan. Tentu dengan embel-embel memperoleh keuntungan semacam buah yang manis, dan lain sebagainya.

Semua ini berkat inisiasi pengetahuan yang bersifat objektif materialistis terhadap alam. Bukan pada tataran bagaimana upaya-upaya penghormatan dan pelestarian lingkungan. Terkadang aku sedikit risau bahwa pembelajaran ilmu pengetahuan alam terutama biologi dan sejenisnya selama ini mengandung cacat ilmu. Sejak kecil, kita tidak diajari berakhlak baik terhadap alam. Kecacatan tersebut seirama dengan pembakaran hutan yang terjadi di mana-mana, sungai-sungai menemui ajalnya, penggunaan teknologi yang tak ramah, lalu iklim kehilangan arah.

Demikian juga, bertahun-tahun aku mengaji di diniyah pun, tak kudapati ustaz maupun ustazahku memberikan pemahaman keagamaan mengenai pemeliharaan alam dalam arti yang sesungguhnya. Pemahaman mengenai khalifah di bumi pun hanya terbatas pada makna manusia sebagai pemimpin di bumi. Bukan pelestari alam. Ada pesan Tuhan yang tak sampai ke bumi perkara ini. Artinya, penyampaian pengetahuan atau pembelajaran mengenai alam baik dari segi keilmuan maupun teologi keagamaan mengalami kecacatan kognitif.

Bagiku, setelah melakukan retrospektif biografis, perubahan iklim adalah sesuatu yang sedikit banyak disebabkan oleh kegagalan ilmu pengetahuan alam. Mengenang masa-masa kecilku serupa menarik diri ke pusaran pengetahuan yang berujung pada perubahan iklim. Ada rasa kekosongan pada diriku dengan kekayaan ilmu pengetahuan, tapi kekosongan itu seakan terisi oleh kerusakan alam dan perubahan iklim.

Maka, menjadi penting untuk mendiskusikan ulang sistem pembelajaran ilmu pengetahuan alam di sekolah atau madrasah. Dari sistem yang sekadar menempatkan alam sebagai laboratorium penelitian yang siap dieksploitasi, menjadi kebutuhan paling penting bagi berlangsungnya kehidupan di bumi, termasuk manusia. Kalau tidak, upaya-upaya manusia berlabel pelestarian lingkungan jika kita amati dengan seksama pada akhirnya hanyalah tindakan reaktif dari pasien yang sejak awal sudah menuju pesakitan.

Rizka Nur Laily Muallifa

Mahasiswi Pendidikan Administrasi Perkantoran UNS Surakarta