Mahasiswi-mahasiswi yang Diperistri

                                                           Oleh : Adhy Nugroho & Vera Safitri

 

Jika Kartini menganggap perkawinan adalah belenggu dan merutukinya sepanjang hidup. Sebaliknya, para mahasiswi ini justru dengan senang hati berumah tangga di usia muda. Akankah Kartini melempar heran dari alam baka?

 

AKHIRNYA Kartini sudi diperistri. Usai bertahun-tahun merutuki perkawinan, menganggapnya sebagai belenggu ganas bagi perempuan.  Menjadikannya bahasan utama dalam banyak suratnya kepada teman-teman Belandanya, dan menemukan kemandirian dari rutukan-rutukan itu. Putri Bupati Jepara itu akhirnya harus menerima pinangan Raden Adipati Djojodiningrat.

 

Namun kita semua tahu, perempuan Jepara itu masih merupa belut licin perlawanan seperti biasanya. Di hadapan takdir yang memilukan itu, ia masih berusaha bertahan sekaligus melawan dengan mengajukan empat syarat: tak akan membasuh kaki suaminya, menginginkan suaminya setia dan  mendukung kegiatannya yang behubungan dengan pendidikan, tak mau tunduk pada aturan-aturan tata karma inggil yang merepotkan, lalu kepada ayahnya ia meminta, agar ibu kandungnya diberi tempat yang layak di dalam kabupaten.

 

Dengan begitu perkawinan pun jelas terlihat menyeramkan bagi perempuan – khususnya perempuan Jawa. Tapi itu dulu, seratusan tahun lalu. Di abad ini, banyak perempuan yang justru dengan senang hati berumah tangga di usia belia.

 

Chairatun Nisa misalnya. Siapa sangka Mahasiswi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNS yang betubuh mungil dan belia ini ternyata sudah bersuami di semester empat. Tapi jangan bayangkan Nisa sebagai Kartini yang dituntut menikah oleh ayahnya. Nisa menikah dengan senang hati. Sang ayahlah yang justru sempat paling keras menolak.

 

“Orang tua saya ingin anak-anaknya sarjana semua,” tutur Nisa saat ditemui 29 April lalu. “Tapi saya menikah karena saya pikIr itu tidak akan menghentikan  saya dalam berpendidikan.”

 

Cara Nisa menyetujui lamaran pria yang kini jadi suaminya pun terbilang nyentrik. Gadis 19 tahun ini mengenal suaminya melalui selembar curriculum vitae  (CV) yang diserahkan pada Nisa. Ditambah lagi: tak tercantum nama sang pria di cv itu.

 

Nyatanya CV tak bernama itu diterima oleh Nisa. Jadilah mereka menikah pada Februari 2017 dengan mahar sebuah kitab Fiqih. Itulah pertama kali Nisa melihat rupa pria yang menikahinya. Ternyata ia teman lama Nisa semasa SMA. Umurnya 20 tahun.

 

Nisa pun tak beranggapan bahwa pernikahan adalah belenggu bagi perempuan seperti yang di tulis Kartini seabad lalu. Bagi Nisa, menikah adalah cara untuk menyempurnakan agamanya (Islam).

 

Klaim bahwa menikah menyempurnakan agama, memang sudah sering digembar-gemborkan dalam banyak seminar pranikah dan kajian keagamaan yang digelar di kampus-kampus. Tahun 2016 saja ada beberapa seminar “merah jambu” yang diselenggarakan oleh kampus hijau ini antara lain; Seminar Jodoh Pasti Bertamu pada September 2016 lalu, Seminar Menggapai Pernikahan  Barokah, Before, After and Forever pada Oktober 2016, Saat Muslimah Jatuh Cinta pada Maret 2016, Muslimah Tangguh Anti Galau pada Maret 2016 dan masih beberapa lagi.

 

Namun saat ditanyai, Nisa mengaku tidak terlalu terpengaruh oleh seminar-seminar ataupun kajian-kajian semacam itu. Tapi meski begitu, Nisa pernah mencoba mendaftarkan diri ke Sekolah Pranikah yang sempat diadakan Masjid Nurul Huda UNS tahun 2016 lalu. Tapi ia malah ditolak. “Ah, kamu masih kecil. Diprioritaskan dulu yang lebih tua.” Ujar panitia acara waktu itu.

 

Tak jauh berbeda dengan Nisa, Shafa Nisrina, Mahasiswi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik (FT) UNS angkatan 2014 juga menapaki kisah serupa. Gadis 20 tahun ini baru saja menikah pada April 2017 lalu. “Tapi pernikahan ini lebih dulu direncanakan oleh orang tua. Baru tinggal mereka menanyakan ke kami gimana-gimananya,” tuturnya.

 

Mengenai pembagian waktu dan tanggung jawab antara berumah tangga dan kuliah, ia mengaku tak keberatan dengan semua itu. Bahkan ia sempat bercerita bahwa dua hari sebelum pernikahan ia tetap berangkat kuliah seperti biasa. Saat berbulan madu pun ia mengajak tugas-tugas kuliahnya ikut serta bersamanya.

 

“Kalau kajian-kajian yang membahas pernikahan memang saya sering ikut. Tapi kalau seminar apalagi sekolah pranikah begitu saya belum pernah ikut sih,” katanya.

 

Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosiologi dan Ilmu Politik (FISIP) UNS, Rahesli Humsona mengatakan, menikah dalam keadaan masih berstatus mahasiswa sebenarnya bukanlah hal aneh. Namun kita juga harus ikut bertanya: Apa sebab mereka memilih hal itu?

“Pernikahan muda semacam ini kan sudah ada sejak zaman saya dulu. Tapi kok saya kadang heran, apakah sejak tahun-tahun itu pola pikir kita masih sama saja? Apa pendidikan masih tak menghasilkan kematangan dalam berpikir, terutama dalam urusan berkeluarga?” Ungkapnya 26 Mei silam.

 

Rahesli menanggapi bahwa faktor religiositas memang sangat besar pengaruhnya terhadap pola pikir dan kemauan remaja untuk berumah tangga. Alasan “menyempurnakan agama” atau menghalalkan hubungan, menjalankan sunah rasul, dan sebagainya akan sangat mudah mengalahkan rasionalitas tentang kenyataan sesungguhnya tentang bagaimana sebenarnya berumahtangga.

 

Padahal menurutnya, dalam pernikahan harus ada kesiapan ekonomi yang matang. Selain itu, diperlukan kesiapan mental dari keduanya. Terutama perempuannya. “Jika keduanya sama-sama belum siap secara materi dan mental, maka akan berpotensi menimbulkan banyak konflik  internal,” ujarnya. “Dan dampak terbesar dari ketidaksiapan ini adalah generasi berikutnya yang mereka hasilkan,” tutupnya.[]