Abdullah Aziz, Mahasiswa Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Kini, ia menjadi pemilik rumah makan Ayam Geprek Pokwe. (Foto: Arsip Pribadi)

Aziz Abdullah, dari Berjualan Boneka hingga Membuka Rumah Makan

Oleh: Fransisca Budiastuti

Rintik hujan masih membasahi kota Solo, Jumat (27/11) sore itu. Di sebuah rumah makan ayam geprek, di Jalan Surya, lagu Sore Tugu Pancoran milik Iwan Fals didendangkan. Sorot lampu remang-remang menambah syahdu suasana sore di rumah makan tersebut.

Beberapa orang berbaris menunggu giliran untuk dilayani. “Saya pake cabe lima belas ya, Mas!” pinta salah seorang pelanggan yang berada di barisan depan. Dengan cekatan, seorang lelaki berbaju hitam melayani setiap pesanan pelanggan yang datang.

Lelaki berbaju hitam tadi ialah Abdullah Aziz. Mahasiswa Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, sekaligus pemilik rumah makan Ayam Geprek Pokwe.

Letaknya memang berada di tempat yang sedikit terpencil dan jauh dari keramaian. Namun, Aziz berhasil menyulap tempat tersebut menjadi rumah makan yang selalu dipadati pengunjung. Konsep “ambil sepuasnya” yang dipakai Ayam Geprek Pokwe, sukses menyedot banyak pelanggan. “Saya melihat potensi dari mahasiswa. Pokwe kan ambil sendiri, harganya ekonomis dan kita kenyang,” ungkap mahasiswa semester tujuh ini seraya menghisap rokok yang ada di tangannya.

Jatuh Bangun

Lelaki 22 tahun ini kembali menghisap rokoknya. Ia mengenang kembali jatuh bangun yang dialaminya dalam merintis usaha. “Saya kepikiran aja buka rumah makan ayam geprek, karena kan di Solo baru ada satu waktu itu,” lanjutnya. Pengalaman mencicipi ayam geprek yang ditemuinya di Jogja, menjadi inspirasi awalnya untuk membuka rumah makan ayam geprek di Solo.

Kala itu Ia dihadapkan pada dua pilihan, kuliah atau wirausaha. Ia lantas nekat cuti kuliah selama setengah semester di semester lima guna merintis usaha. Tak sampai disitu, masalah lain datang. Ia tak punya modal.

Dengan berat hati, Ia merelakan telepon genggam satu-satunya untuk dijual. Beruntung, handphone Smartfren android berhasil dijualnya dengan harga Rp500.000,-. Untuk menambah modal usahanya, Aziz mengajak Muhammad Khoinul Rijal, Mohammad Hafid, dan Rizky Prabowo yang merupakan kawannya semasa SMA dahulu untuk menjadi mitranya dalam berbisnis. “Ayo, buka usaha sendiri, masak nggak capek usaha bareng orang terus,” ujar Rijal – salah satu rekan Aziz – menirukan gaya berbicara Aziz.

Hampir dua juta rupiah berhasil dikumpulkan dari sumbangan rekan-rekannya. Tetapi, jumlah itu masih terlalu sedikit.  Aziz memutar otak mencari ide untuk menambah modal usahanya. Munculah ide untuk menggunakan uang hasil iurannya sebagai modal berjualan boneka. Hasil berjualan boneka ini nantinya akan digunakan untuk modal membuka rumah makan.

Pinggiran jalan kota Semarang menjadi tempat mereka menjajakan boneka. Selama kurang lebih dua bulan, masing-masing mereka menjual 60 boneka. Hasil dari keringat menjajakan boneka, dapat terbayar dengan uang sebanyak 12 juta yang berhasil kantongi. Uang 12 juta inilah yang dijadikan modal awal dalam merintis usaha ayam geprek.

Problematika belum berhenti. Terbatasnya modal membuat keempat pemuda itu terpaksa membuka rumah makan ayam geprek di sudut jalan sepi. Jauh dari pusat keramaian. “Udah tempatnya di pojokan, meski turun kebawah lagi,” ujar Aziz sambil menggelengkan kepalanya.

Rijal sempat pesimis dengan kondisi tempat seperti itu. ”Saya awalnya nggak mau, jika rumah makan ayam geprek dibukanya disini,” ungkap Rijal. “Tapi waktu itu, Aziz bisa meyakinkan saya buat buka usaha rumah makan disini,”imbuhnya.

Guna memperkenalkan Ayam Geprek Pokwe, di hari pertama mereka mengratiskan siapapun yang makan. Promosi itu berhasil menarik banyak pembeli. Namun kecewa harus mereka terima. Setelah hari promosi berakhir, pelanggan yang datang sangat sedikit. Bahkan dapat dihitung jari. Padahal, Aziz dengan yakinnya menyediakan sekitar lima puluh porsi ayam untuk dijual. Dari jumlah tersebut, hanya empat porsi yang terjual. Mereka pun harus rela hanya mengantongi 40 ribu rupiah.

Namun, kondisi  ini tak menyurutkan langkah mereka untuk tetap maju. Berkat promosi dari mulut ke mulut, Ayam Geprek Pokwe mulai dikenal. Kegigihan mereka membuat usaha ini maju.

Sikap Kepemimpinan

Ketika muncul rencana untuk membuka rumah makan ayam geprek, Rijal menceritakan awalnya ia sempat menolak. “Saya tidak mau, kalo semuanya memimpin. Saya mau ada satu orang yang mimpin,” katanya. Melihat jiwa kepemimpinan yang ada dalam diri Aziz, ketiga temannya sepakat menjadikan Aziz sebagai pemimpin usaha. Disitulah Aziz mengambil kemudi. Dia meyakinkan teman-temannya yang tidak dapat kuliah saat itu, untuk bersama dengannya membuka usaha.

Di mata teman-temannya Aziz juga dikenal sebagai sosok yang tegas, disiplin dan memiliki jiwa kepemimpinan yang baik. Selain itu, Aziz juga dinilai sebagai pribadi yang peduli terhadap teman-temanya. “Aziz itu kalo dari kita berempat itu jiwa kepemimpinannya ada, leadership banget, orangnya keras, tegas, disiplin, care sama orang,” tutur Rijal menjabarkan. “Pokoknya yang paling saya kagumi dari Aziz itu jiwa kepemimpinannya ada.”

Meskipun usahanya sudah berkembang cukup baik, Aziz masih ingin untuk melebarkan sayapnya. Ia memiliki keinginan untuk membuka cabang dan mempekerjakan lebih banyak orang lagi. “Saya lebih senang membuat lapangan pekerjaan daripada ikut orang,” ujarnya disertai senyuman bangga.